Kamis, 05 April 2012

PANDEGLANG NYANYIAN SUNYI KOTA PARA SUFI

                        “Innani thiflhun shoghirun..
                        Li abi hubbi wa ummi
                        Fha abi yughna bi’aisi
                        Watujillul ummu ghommi.”
                         (Ust. Sulhi / Kyai A Salim)

            Itulah potongan nadhoman ( Senandung koor) yang paling kuingat kala memasuki tugu perbatasan kota Pandeglang, di setiap kali aku pulang kampung. Nadhoman itu seperti bunyi musikal penyambutan bagi diriku sendiri, yang selalu bersenandung di dalam hatiku yang terdalam disetiap kaki ini menginjak tanah kampung halaman. Terkadang aku tertawa geli sendiri mengenang masa-masa kecil yang indah dan penuh kenakalan. Nadhoman itu, nadhoman pertama yang kubawakan bersama Azizah dan beberapa temanku, ketika usiaku 5 tahun dan duduk di bangku busthanul falah, semacam TK ITnya jaman sekarang.
            Itu nadhoman pertama pada ikhtifal pertamaku. Kami, kalau tidak salah berenam, mengenakan bahnuk (Jilbab), naik ke atas panggung yang dipenuhi kertas warna-warni dan bunga-bunga di setiap sisinya. Para orang tua kami menonton di bawah sambil tersenyum diliputi kekaguman, seperti seekor induk ayam yang melihat telurnya menetas dan mendengar ciapan suara anaknya untuk yang pertama kali.
           
1. KARANG TANJUNG
DESA YANG DIBERKAHI MATA AIR

Aku bangga dilahirkan di Karang Tanjung, sebuah desa kecil yang terletak di bawah kaki  gunung Karang yang amat indah serta sejuk. Tidak cukup jauh dari pusat kota Pandeglang. Sebuah desa yang dilimpahi berbagai berkah. Seperti dipayungi rahmat cinta kasih Allah yang tak ada habisnya. Betapa tidak, disamping memiliki tokoh spiritual besar yang telah melahirkan puluhan ulama yang bertebaran disetiap peloksok kota Pandeglang, desa kecilku juga dikaruniai Allah puluhan mata air jernih yang selalu mengalir dan tak pernah habis disepanjang tahun, bahkan di musim kemarau panjang sekalipun. Sehingga puluhan hektar pesawahan yang ada di sekitar desaku menjadi teramat subur. Jika di desa-desa lain, dimusim kemarau kehabisan air, hingga jangankan air bersih untuk dikonsumsi, bahkan air untuk sekedar cuci mukapun  sudah tidak ada lagi, Syukur Alhamdulillah di desaku selalu menyediakan limpahan air. Jika sudah begitu, sebagai tanda syukur atas karunia       Illahi, seluruh penduduk desa kami dengan tulus mempersilahkan desa-desa yang lainnya untuk mengambil air sepuasnya dari mata air desa kami yang selalu menyembur dengan terjangan puluhan liter perdetik. Dan juga membiarkan mereka mandi, mencuci berkarung-karung pakaian yang mereka bawa dan juga meminumkan ternak-ternak mereka. Kini mata air dari kampung halamanku telah memenuhi kebutuhan air untuk hampir seluruh kota Pandeglang. Bagi yang tempat tinggalnya tidak terjangkau pipa PAM, mereka bisa mengangkut bertengki-tengki air disetiap harinya, tanpa batas, asal mampu membawanya. Dan sejauh itu air segar dan bersih dari mata air kampung halamanku tidak pernah habis. Bahkan kini sudah berdiri dua pabrik air mineral yang memanfaatkan tambang air di kampungku di atas tebing mata air.
Menyadari semua karunia itu, terkadang aku tak bisa menahan rasa kagum pada cerita-cerita ibuku ketika aku kecil dulu. Saat itu kampungku masih teramat perawan. Hanya Cilembur satu-satunya mata air yang sudah di tembok sekelilingnya, sehingga menyerupai kolam. Mata air yang lainnya dibiarkan mengalir alamiah, sehingga membentuk rawa-rawa cetek berair jernih yang menggenangi perkebunan nipah. Aku dulu sering diajak ibuku menyusuri rawa nipah itu untuk mencari parai  (ikan-ikan kecil) disela-sela akarnya. Pada saat itu, ibuku sering bercerita, konon dulu, ketika ibuku masih kecil, setiap seminggu sekali, ibuku dan teman-temannya selalu menonton para none Belanda yang tinggal di Pandeglang kota datang ke kampungku diantar delman dengan anjing-anjing piaraannya. Mereka berenang dan memandikan anjing-anjingnya di Cilembur. Lalu main ayunan pada akar-akar pohon beringin yang menjuntai.
Di lain waktu,  ibuku bercerita tentang masa depan. Saat itu aku tersenyum geli. Ibuku sudah seperti seorang paranormal saja. Kala itu sore dimusim hujan. Pelangi menghias dinding langit selatan. Meskipun udara sangat lembab dan dingin, tapi kami tetap harus turun ke air untuk mandi sore dan berwudhu, karena harus shalat ashar. Pada musim hujan, semburan mata air jumlahnya jadi bertambah banyak. Bahkan ketika aku berjalan menuju ke tempat yang lebih landai, kaki kecilku yang telanjang menginjaki beberapa mata air kecil yang baru bermunculan di sepanjang jalan setapak.
“Air yang ada di dalam perut bumi sedang bengkak,” kata ibuku. Lalu ia mendongak ke atas, jauh ke puncak tebing. “Pada akhir jaman nanti, tebing itu akan di kuasai rawayan (Suku Baduy),” katanya. “Dan pada masanya nanti, orang-orang dari seantero raya akan meminum air dari kampung kita.”
Aku yang waktu itu masih teramat hijau, hanya ternganga. Ada pertanyaan menyelinap di kepala kecilku. “Kapankah itu? Kapan akhir jaman itu akan tiba?”
Namun belum juga usiku menginjak seperempat abad, ramalan ibuku sudah terjawab semua. Hanya butuh sedikit penafsiran saja untuk membuktikan bahwa ramalan ibuku itu benar adanya. Kini di atas tebing itu telah berdiri dua pabrik air minum yang cukup besar dan menguasai dua mata air besar yang ada di sana. Mungkin yang di maksud Rawayan oleh ibuku adalah orang-orang yang bukan beragama Islam. Mengingat seluruh penduduk di kampungku termasuk pemeluk islam fanatik. Dan pada masa lalu, mereka terbiasa mengistilahkan rawayan pada setiap non muslim. Melurut pada sejarah Banten di masa silam, bahwa Rawayan (suku Baduy), merupakan penduduk asli Banten yang tersisih dan melarikan diri ke daerah Kanekes karena tidak bersedia memeluk Islam. Mungkin saja bagi ibuku, kata Rawayan itu di istilahkan bagi orang-orang kafir.  Meski begitu, hingga sampai kini, aku tidak yakin, apakah pemilik kedua pabrik besar itu muslim atau non muslim. Atau istilah orang dulu, Rawayan atau bukan Rawayan?
Namun pada ramalan ibuku yang kedua, aku dapat meyakini kebenarannya.   Karena di manapun aku berada, aku selalu melihat minuman segar yang berasal dari kampungku terjaja. Dari warung-warung kaki lima, restoran menengah, hingga ke hotel berbintang. Kini minuman segar itu sudah menjadi paforit penduduk Indonesia. Ibuku benar, orang seantero raya telah meminum air segar dari kampungku.  Aku sering terkagum-kagum sendiri setiap kali mereguk sebotol minuman itu. Allah maha Agung, aku berada jauh dari kampung kecilku, namun aku bisa meminum air dari semburan mata air Cipurut. Salah satu mata air tempat ku berkecipak di barisan pancurannya ketika aku kecil dulu.
            Mata-mata air yang memancar di beberapa sudut yang ada di kampungku, memiliki nama-nama yang unik. Dari Cilembur, Ciranjeng, Cipurut teh Janis, Cipurut lalaki, Cipurut kidul, Cikaudukan, Citaman, dan Cipacung. Mata-mata air itu saling berdekatan, sehingga ketika aku kecil, aku dan teman-temanku bisa mandi berlarian, berpindah-pindah, dari mata air yang satu ke mata air yang lainnya, dalam keadaan telanjang. Lalu di kemudian hari, aku jadi semakin sadar, kalau nama-nama itu seperti di persiapkan sesuai dengan kontribusinya masing-masing. Mungkin  ini hanya kebetulan saja. Tapi aku yakin, semuanya terjadi atas skenario dari Lauhil mahfudz.


CILEUMBUR

            Mata air yang paling paforit bagiku adalah Cilembur. Bukan hanya karena kolamnya yang luas dan kedalaman airnya yang lebih di atas dada orang dewasa, sehingga memungkinkan kami untuk berenang sepuasnya, tapi karena mata air Cilembur memang dikhususkan untuk pemandian para wanita. Cilembur berada di bawah naungan pohon beringin besar. Sehingga ketika aku kecil, Aku menganggap bahwa air yang menerjang keluar itu, berasal dari tubuh kekar pohon beringin yang berdiri rindang di depan pemandian. Teman-temanku bilang dengan bahasa kanak-kanak, bahwa Cilembur itu air kencingnya pohon beringin.
            Di antara mata air yang lainnya, Cilembur seperti sudah ditakdirkan untuk menjadi tempat berenang. Bisa di pastikan, hampir seluruh penduduk Karang Tanjung mahir berenang. Karena biasanya para anak kecil di kampungku mulai mengepakan tangannya di permukaan air Cilembur pada usia tiga tahun. Di usia itulah, para anak kecil di kampungku mulai mendorong tubuhnya ke tengah air sekitar semester dua meter, lalu berbalik melingkar, kembali ke tepi tangga. Tapi jika mandi di sini, jangan berharap kita bisa bermain air sejam atau dua jam seperti di kolam renang buatan. Airnya yang dingin tak akan memungkinkan kita untuk berada di dalam air terlalu lama. Dulu ketika aku kecil, aku dan teman-temanku akan naik ke atas setelah merasa amat kedinginan. Lalu duduk di atas batu dan membiarkan tubuh telanjang kami yang menggigil di sengat hangatnya sinar matahari sambil mendendangkan kakawihan kampung turun temurun.
           
Bret panas, si teteh moe cecenet
                        Si kaka turun ti gunung
                        Melak cau di baliung.
                        Ragagna kana kukulung
                        Bret panas…….
           
Kakawihan itu terus didendangkan berulang-ulang, hingga rasa dingin yang menggigil menguap dari tubuh kecil kami. Lalu kemudian kembali melompat ke dalam air.
Di samping itu, ketika aku kecil, aku dan teman-temanku memiliki banyak permainan yang biasanya hanya kami mainkan sambil berenang di Cilembur. Seperti ucing-ucingan tahun, artinya orang yang kalah dikutuk menjadi kucing. Dan kalau ingin lepas dan memindahkan kutukan itu pada teman yang lainnya, ia harus mengejarnya di dasar air, sampai berhasil memegang kepala temannya. Dan itu bisa terjadi berhari-hari, dan hanya berlaku ketika tengah berenang di Cilembur. Karena kalau sudah naik ke darat, permainan itu dianggap tidak ada. Ada juga permainan susumputan batu, caranya amat sederhana, kami mengikat sebuah batu kecil dengan karet berwarna. Yang menang mendapat kehormatan untuk menyembunyikan batu itu di manapun asal di dasar air. Uniknya yang kalah  di haruskan mengikuti sipemenang yang akan menyembunyikan batu. Kami berenang beriringan di dasar air seperti segerombolan ikan. Mencari lekuk-lekuk batu yang pas untuk menyembunyikan batu berkaret. Sambil sesekali mengecoh teman yang lainnya dengan beberapa trik gerakan. Kenapa begitu? Karena kalau si yang kalah di biarkan memperhatikan dari permukaan air, akan di pastikan batu itu akan segera dapat di temukan, mengingat betapa jernihnya air Cilembur, sehingga pandangan kita dari permukaan tampak lebih jelas sampai ke dasar air yang terdalam. Ada juga permainan yang paling menggelikan, dan selalu membuat perutku sakit karena tertawa kalau mengenangnya. Yaitu permainan melak cau. Kami para anak kecil menyelipkan sebilah batu kecil di sela-sela belahan pantat, lalu menungging ke atas dengan tangan dan kepala berdiri tegak di dasar air. Setelah itu membukakan bilahan paha kami hingga selipan batu itu terjatuh dengan sendirinya. Dan masih banyak lagi permainan-permainan di dalam air yang kami ciptakan sendiri secara naluriah.
Sejujurnya, jika para sesepuh kampung menyetujui, Cilembur amat sangat berpotensi untuk dijual dan dijadikan pemandian komersial seperti Cikoromoy. Bahkan Cilembur lebih luas dan lebih dalam di banding Cikoromoy. Di samping itu Cilembur juga memiliki pintu air yang bisa mengatur ketinggian air sesuai yang kita inginkan.Tapi para sesepuh di kampungku yang memiliki kompetensi untuk menentukan sikap, menentangnya dengan keras, dengan alasan, jika Cilembur di komersilkan maka akan memungkinkan terjadinya pengrusakan nilai-nilai moral. Kita tidak bisa menjamin orang luar yang datang berkunjung, tidak hanya sekedar untuk berenang. Bisa saja mereka datang sambil membawa minuman keras, obat terlarang, lalu bermabuk-mabukan hingga membawa efek yang kurang baik bagi penduduk Karang Tanjung. Bisa juga mereka datang  bersama para pacarnya dan melakukan kemaksiatan. Kedengarannya memang terlalu apriori, Tapi intinya, para sesepuh di kampungku dengan kukuh memegang pendiriannya untuk tidak mencemari kampung kami dengan hal-hal yang merusak nilai agama. Itulah sebabnya, dulu setiap kali para pendatang mulai ramai berenang di kesejukan Cileumbur, para sesepuh langsung resah. Beberapa hari kemudian para pria menebang bambu dan menceburkannya ke dalam kolam Cilembur tanpa membuang daun dan rantingnya. Berbulan-bulan ranting-ranting bambu itu akan memenuhi permukaan air, dan ganggang-ganggang liar tumbuh subur dari dasarnya. Sehingga tak ada seorangpun yang tertarik untuk berenang di sana lagi. Setelah di pastikan, tidak ada lagi pendatang yang nekad bertandang ke Cileumbur, baru ranting-ranting bambu itu di angkat dan pintu air di buka. Cilembur kembali di bersihkan. Seluruh penduduk sama sekali tidak keberatan orang luar mengambil air dari kampungku, tapi mereka bertekad untuk tidak membiarkan orang luar mencemari kampungku.
Namun cara pencegahan apapun yang telah di lakukan para sesepuh kami,  sepertinya Allah telah menakdirkan Cilembur sebagai tempat pemandian. Sebagaimana Allah telah menakdirkan dunia sebagai tempat pembuangan Nabi Adam dan Siti Hawa. Seiring dengan berjalannya waktu, meski para sesepuh di kampungku tetap menolak Cilembur dijadikan tempat pemandian, namun pada akhirnya Cilembur secara bertahap merubah wajah juga. Dengan alasan desakan ekonimi, beberapa penduduk mulai mendirikan warung-warung kecil di pinggiran Cilembur, Menyediakan penyewaan ban, dan membuka tempat-tempat parkir sepeda motor di depannya. Kini para pengunjung yang datang untuk ikut mandi ke Cilembur kian ramai saja. Meski begitu kami hingga  saat ini sama sekali tidak mengkomersilkan Cilembur.
Kini tidak ada satupun para sesepuh yang berani memasukan ranting-ranting bambu lagi ke dalamnya, karena ada warung-warung penduduk tak mampu yang akan berteriak menangis jika itu di lakukan. Para sesepuh hanya memberi sedikit wejangan dan sindiran kecil, agar orang-orang yang menangguk rejeki di sekitar Cilembur, tak lupa untuk mengawasi dan mengingatkan para pengunjung dari jauh untuk tidak berlebihan. Dan untuk tidak melakukan hal-hal yang keluar dari nilai keislaman. Sesuai dengan namanya, Cilembur, yang artinya air kampung. Cilembur secara bertahap telah menjadi sumber mata pencarian orang-orang kampung. Dan benar-benar berada di tengah perkampungan.

CIPURUT

Di sekitar kawasan Cipurut, terdapat beberapa mata air yang letaknya saling berdekatan. Waktu saya kecil, ada sebuah mata air yang di namakan Cipurut teh Janis. Mata air itu keluar dari bawah belahan batu yang amat besar. Di sekelilingnya terdapat tebing batu dan sesemakan tinggi. Ini mata air yang paling tersembunyi. Kedalamannya hanya sebatas lutut, dan tentu saja amat jernih. Aku, ketika waktu kecil hanya sesekali saja mandi di mata air ini. Di samping airnya cetek dan sangat  tidak menyenangkan, kondisinya yang tersembunyi juga memicu kami para anak kecil untuk bergosip tentang para hantu penunggu air yang di sebut keukeuk. Keukeuk, hantu penunggu air yang suka muncul menyerupai tikar tergelar yang akan segera menggulung siapa saja yang menginjaknya. Jarang sekali orang yang mempergunakan mata air ini. Hanya teh Janislah, salah satu penduduk kampungku, yang rutin setiap hari datang ke sana untuk mandi dan bersih-bersih. Itulah sebabnya, mata air itu di namai Cipurut teh Janis.
Tak jauh dari Cipurut teh Janis, hanya di batasi gundukan batu dan sesemakan, terdapat mata air yang cukup besar. Airnya menyembur deras di permukaan batu, seperti semburan lahar dari kepundan gunung. Lalu mengalir secara alamiah dan membentuk sebuah kolam kecil yang di kelilingi batu alam. Mata air ini di namakan Cipurut lalaki, karena tempat mandinya para pria. Aku tidak pernah mandi di sana karena aku seorang wanita. Hanya ketika kecil, aku masih ingat, saat itu usiaku sekitar empat lima tahunan, ayahku pernah menggendongku di belakang punggungnya dan membawaku mandi di sana. Itupun membuatku bergidik  ngeri, karena harus melihat para pria dewasa bertelanjang bulat seperti patung Yunani.
Di samping Cipurut lalaki, berdiri sebuah dangau kecil terbuat dari papan, tempat para pria shalat. Hanya beberapa meter dari semburan air Cipurut lalaki, ada beberapa mata air yang terletak di tempat yang paling terjal. Di bawah tebing bambu yang amat gelap. Kami menyebutnya mata air Cipurut kidul. Karena mata air itu khusus di pergunakan oleh masyarakat kampung Karang Tanjung kidul. Walau letaknya tidak begitu jauh, tapi aku hampir tidak pernah ke sana, untuk mandi. Kecuali sesekali saja.
Namun semua itu adalah wajah Cipurut yang sudah lama silam. Kini semburan mata air yang seperti lahar  keluar dari kepundan gunung sudah tidak nampak lagi. Pabrik air minum telah menutupnya di dalam perut gedung tembok kecil, yang di pagari kawat berduri. Tidak ada lagi pria telanjang berenang-renang di sana.
Seperti juga Cipurut lalaki, Cipurut kidulpun kini telah di pagar kawat oleh perusahaan air mineral. Sementara Cipurut teh Janis, yang dulu tersembunyi justru kini menjadi mata air yang paling menampakan diri. Setiap hari berpuluh-puluh mobil tangki datang menyedot airnya untuk di Jual, dengan cukup membayar delapan ribu rupiah permobil, dan uangnya di alokasikan untuk pembangunan mesjid dan berbagai kepentingan yang menyangkut kebutuhan kampung. Konon kata para pemuda yang mengurusi tentang keuangannya, mengatakan, bahwa pendapatan dari mobil tangki itu bisa mencapai empat juta dalam sebulan. Bisa di bayangkan, berapa mobil yang datang di setiap harinya dan menyedot air ke dalam tangki-tangki besarnya.  Meski begitu, persediaan air di perut bumi kampungku masih saja tetap melimpah. Dan mudah-mudahan akan terus melimpah di sepanjang jaman.
Kini aku menyadari, kenapa mata-mata air itu dinamakan Cipurut. Karena pada akhirnya air-air dari Cipurut akan diperet (Peras) dalam sistim penyulingan dan dicampur perasan teh, yang tentu saja rasanya jadi sedikit peret. Seperti Ramalan ibuku dulu, bahwa pada masanya nanti,  Cipurut akan di minum oleh orang seantero raya. Dan kini ramalan itu sudah terbukti kebenarannya.

CIKAUDUKAN

Tak jauh dari deretan mata air Cipurut, hanya berjarakan beberapa meter saja, dan hanya di pisahkan parit aliran air Cipurut, terdapat lagi sebuah mata air besar, memancar dari sela-sela batu di bawah pohon bambu. Dan ini mata air yang memiliki kubangan terdalam di antara mata-mata air yang lainnya. Ukuran luasnya hanya sekitar lima meter perlima meter. Tapi kedalamannya sekitar seukuran kepala orang dewasa. Penduduk kampungku menamai mata air ini dengan sebutan Cikaudukan.
Cikaudukan ini merupakan pemandian yang juga di khususkan untuk para kaum pria. Itulah sebabnya, di samping Cikaudukan di bangun juga sebuah dangau kecil untuk shalat, sama seperti juga dangau yang di bangun di samping Cipurut. Bedanya, jika dangau yang di bangun di samping Cipurut berbentuk panggung, sedang di Cikaudukan, dangaunya sudah di bangun  permanent dari tembok.
Dulu, ketika aku masih jadi gadis pentil yang masih hijau, sering di ajak mandi ke sana oleh nenek cantik bernama mbok Senong, di setiap sore Jumat.
“Hayu urang mandi jeung mbok ka Cikaudukan. Pang geulis,” kata mbok Senong, sambil membawa sebaskom merang bakar yang masih mengepul  di ketiaknya. Merang bakar itu, disiapkan mbok Senong untuk keramas. Orang tua dulu tidak pernah keramas mengenakan shampoo. Di samping takut shampo akan merusak rambut, mereka juga lebih percaya kalau air bakar merang lebih alamiah dan lebih menyehatkan rambut.
Aku dan teman-temanku mengikut mbok Senong dari belakang, sambil membaca shalawat nabi.

Shalallahu ‘ala Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wasallam

Shalawat itu terus kami lantunkan berulang-ulang di sepanjang jalan, mengikuti lantunan dari mulut mbok Senong.
Konon, kata para orang tua dulu, di atas mata air Cikaudukan terletak sebuah makom Kyai Syeh tanpa nama. Dan Cikaudukan dipercaya memiliki khasiat untuk menambah kharisma dan kecantikan. Soal benar dan tidaknya cerita itu, aku sendiri hingga kini tak dapat memastikan.
Namun itu semua wajah Cikaudukan tempo dulu. Beberapa tahun silam. Kini aku tak dapat lagi melihat kubangan mata air Cikaudukan yang dalam. Karena kini seluruh mata air Cikaudukan sudah di tutup tembok beton yang kekar. Dan di kelilingi pagar kawat berduri. Kami tidak bisa lagi mengikuti jejak ritual mbok Senong, karena Cikaudukan kini sudah menjadi sumber air bersih yang di alirkan ke kota untuk memenuhi kebutuhan air di kota Pandeglang.
Kembali ku ingat pada arti nama. Betapa cocoknya kutukan nama-nama mata air itu dengan kontribusinya masing-masing. Seperti juga Cileumbur dan Cipurut. Cikaudukan, artinya air di keduk. Dan kini mata air Cikaudukan betul-betul di keduk. Di angkut semuanya melalui pipa besi besar di bawa ke kota. Dan mengenai keyakinan mbok Senong tentang khasiat Cikaudukan, mudah-mudahan benar adanya. Dengan demikian siraman air Cikaudukan bisa mempercantik semua penduduk kota Pandeglang.

CITAMAN DAN CIPACUNG

Citaman adalah sumber mata air yang kurang popular di kampungku. Padahal letaknya tidak begitu jauh dari Cikaudukan. Hanya di pisahkan oleh beberapa gerombol rumpun bambu. Dulu Citaman tempat pemandiannya orang kampung Karang Tanjung ujung. Tapi karena kampung Karang Tanjung ujung kini sudah hilang diganti dengan bangunan pabrik air minum, Citaman kini nyaris tidak di pergunakan lagi. Padahal mata airnya cukup besar dan tak kalah jernihnya.
Terkadang ada rasa sedih menyelinap di bathinku, setiap kali melihat kolam mata air Citaman yang terbengkalai. Batu-batu besar yang terhampar di dasar air, licin dan berlumut. Dan pinggir-pinggir tembok kolamnya hijau berganggang. Betapa tidak menyentuh hati, mengingat begitu banyak kampung-kampung yang amat mendambakan air bersih. Sementara Citaman yang berair jernih dan sejuk itu seperti terlupakan. Dan airnya melulu hanya untuk di pergunakan untuk mengairi sawah-sawah yang ada di sekitarnya.
Sementara Cipacung. Mata air yang letaknya paling ujung dan memiliki kualitas air yang paling tidak memadai, karena agak sedikit kuning dan berlumpur, justru kini jadi amat bermanfaat. Padahal Cipacung dulu hampir tidak pernah terjamah. Mengingat letaknya yang cukup jauh dari perkampungan. Namun setelah kyai haji Wahid mendirikan pesantren di atasnya, Cipacung di jadikan sumber air untuk memenuhi kebutuhan para santri.

2. TOKOH-TOKOH BESAR DI MASA SILAM.

Karang Tanjung, kampung tumpah darahku. Selain diberkahi dengan puluhan sumber mata air pegunungan yang sejuk dan jernih, kampungku juga di anugrahi Allah dua orang tokoh spiritual besar di masa silam. Yang hingga kini jejaknya masih dijaga dan diagungkan. Yaitu Almarhum Kyai syeh Jaga Raksa Nagara, yang lebih dikenal Ki Buyut, dan Almarhum kyai Akhmad Salim. Aku tidak mengenal keduanya. Tapi aku mendengar kisah-kisahnya di masa lampau dari para orang tua, juga puluhan syair hasil karyanya.  Menurut cerita para orang tua, kedua tokoh itu hadir di Karang Tanjung, sebagai lampu penerang, yang menggiring seluruh penduduk Karang Tanjung dan sekitarnya ke jalan Allah. Mereka adalah dua orang pionir yang mengenalkan nilai-nilai islami secara benar.




KYAI SYEH JUMANTEN JAGA RAKSA NAGARA
UTUSAN DARI KESULTANAN BANTEN

Kuburan Kyai Syeh Jumanten Jaga Raksa Nagara, terletak tak jauh di belakang rumahku. Berada di bawah pohon Kenanga besar. Di sekeliling kuburan itu di hiasi pohon jebug rende (Jambe hias).  Entah siapa yang melakukannya, tapi yang ku tahu sejak dulu hingga kini, nisannya yang terbuat dari batu besar selalu terbungkus berlapis-lapis kain putih. Di depan pemakaman itu dibangun tempat penziarahan dari tembok permanen, terdiri dari dua lokal. Semua itu dipersiapkan untuk memisahkan penziarah laki-laki dan perempuan.  Dan disetiap lebaran, seluruh penduduk di kampungku antri berziarah ke makam itu, sebagai tanda penghormatan yang tak terhingga atas jasa-jasa almarhum Kyai syeh Jumanten Jaga Raksa Nagara  di masa silam. Tak jauh dari pemakaman itu, terdapat sebuah mata air kecil berpilar tembok. Konon, menurut cerita para orang tua dulu, mata air itu peninggalan syeh Jumanten Jaga Raksa Nagara, tempat dulu beliau mandi dan bersuci. Dan warga di sekeliling mengalirkan air keramat itu ke dapur-dapur.
Seluruh penduduk Karang Tanjung menganggap bahwa Almarhum Kyai Syeh Jumanten Jaga Raksa Nagara, adalah kakek piutnya. Sehingga kami terbiasa menyebutnya kuburan Kyai Buyut. Lalu saking amat mengkeramatkan kuburan itu, terciptalah sebuah adat yang menurutku  sama sekali tidak bernafaskan Islami. Malah lebih tepat di sebut  adaptasi dari budaya Hindu. Tapi penduduk Karang Tanjung mengklaim bahwa itu termasuk ritual islami. Para penduduk Karang Tanjung sudah terbiasa menganggap bahwa jasad yang ada di bawah batu nisan itu nenek moyangnya yang selalu menjaga kampung ini dari berbagai prahara. Memang tidak semua penduduk memiliki keyakinan seperti itu, tapi masih ada sebagian penduduk yang menganggap kuburan itu bertuah. Sehingga dijadikan tempat untuk mengadukan setiap kesulitan hidup dan kegembiraan.
Bahkan ibuku sendiri hingga kini masih amat mengkeramatkan kuburan itu. Ibuku selalu menganjurkan kepada semua anak-anaknya untuk tidak lupa berziarah ke sana setiap kali menemukan masalah. Atau misalnya sebelum melakukan hajat pernikahan, khitanan, bahkan sebelum berangkat haji. Dan apabila salah satu dari keluargaku yang mendapatkan keberuntungan, ibuku akan segera membuat nasi kebuli (Nasi kuning yang di campur kelapa muda, suwiran daging ayam dan ikan teri). Lalu nasi kebuli itu di bawa ke kuburan Syeh Jumanten Jaga Raksa Nagara, didoakan di sana dan dibagi-bagikan pada anak-anak kecil yang menyemut di pelataran kuburan. Seluruh penduduk di kampungku sudah paham, jika ada salah satu penduduknya yang membawa nasi kebuli ke kuburan itu, berarti mereka telah mendapatkan keberuntungan. Biasanya mereka saling bertanya, penasaran ingin tahu keberuntungan apa gerangan yang didapat hingga membawa nasi kebuli ke kuburan Kyai Syeh.
“Ada apa ini bikin nasi kebuli segala? Keur dikabul?” tanya para ibu yang kebetulan berpapasan dengan salah satu keluarga yang membawa nasi kebuli ke kuburan ki Buyut, sambil mengerlingkan mata.
“Anakku yang nomor dua lulus ujian,” atau, “Alhamdulillah, anakku si pulan diterima jadi polisi,” atau “Alhamdulillah si pulan, anakku yang bungsu sembuh dari sakitnya.”
Khusus untuk penduduk Karang Tanjung, adat itu hingga kini masih dijaga dan dilestarikan.
Tidak ada bukti tertulis tentang sejarah asal-usul Kyai Syeh Jumanten Jaga Raksa Nagara. Mulai tahun berapa beliau tinggal di kampungku, dan tahun berapa beliau mangkat. Bahkan saya kira, dari sekian penduduk Karang Tanjungpun tidak ada yang mengetahuinya. Tapi para orang tua bercerita, kukira perpanjangan lidah dari orang tuanya yang terdahulu, bahwa Kyai Syeh Jumanten Jaga Raksa Nagara adalah salah satu utusan kesultanan Banten yang ditugaskan untuk mengislamkan penduduk di sekitar kampungku. Dan kebetulan beliau memilih Kampungku sebagai pusat tempat pengabdiannya. Tidak juga diceritakan, apakah beliau memiliki istri dan keturunan atau tidak? Yang ku tahu, kalau kuburan itu sudah ada dan di keramatkan, bahkan mungkin jauh sebelum nenek piutku lahir.

KYAI AKHMAD SALIM
ULAMA SEKALIGUS PUJANGGA

Kyai Akhmad Salim adalah salah satu tokoh masa lalu yang paling ku kagumi. Aku memang tidak mengenal beliau secara langsung. Tapi aku mengenal puluhan syair hasil karyanya yang kubaca dan kuhafal, ketika aku duduk di Madrasah Ibtidaiyah. Menurutku hampir semua karya-karya pena  Almarhum kyia Akhmad Salim, sangat luar biasa. Meski di tulis dalam bahasa Sunda, tapi aku dapat membaca sebuah karya yang amat sarat dengan nilai estetika islami dan ketajaman buah pikir yang sangat dalam. Kyai Akhmad Salim sendiri, sesungguhnya bukan penduduk asli Karang Tanjung. Beliau datang ke Karang Tanjung bersama anak istrinya dan membuat komplek pesantren tradisional di dekat susukan. Aliran sungai kecil yang berasal dari hulu Cileumbur.
Aku sendiri tidak pernah mengenal kyai Akhmad Salim secara langsung. Dan aku sendiri tidak tahu seperti apa bentuk komplek pesantren tradisionalnya dulu. Ketika aku kecil, aku hanya melihat puing-puing tembok bekas Madrasah dulu yang sudah di penuhi ilalang, tempat aku dan teman-temanku, termasuk Azizah, salah satu cucu beliau, mencari buah cecenet di sana. Yang tertinggal hanya dua bangunan rumah peninggalannya yang kini di tempati anak-anak dan cucu-cucunya. Menurut cerita para orang tua, almarhum kyai Akhmad Salim mangkat jauh sebelum madrasah itu di pindahkan ke pinggir jalan, tepat berada di samping rumahku. Madrasah yang kemudian menjadi tempatku menuntut ilmu, dan mengenali semua syair-syair buah karyanya.
Menurut cerita ibuku, jauh sebelum kyai Akhmad Salim datang dan mendirikan pesantren di pojok kampung, kondisi masyarakat di Karang Tanjung masih amat buta agama. Pada dasarnya mereka semua beragama Islam, tapi kurang mengenal nilai-nilai ajaran Islam yang sesungguhnya. Saat itu masyarakat Karang Tanjung masih suka minum tuak, nanggap Ubrug, sebuah kesenian panggung semacam keliningan. Juga masih suka mengkonsumsi makanan-makanan yang sebetulnya amat tidak diperbolehkan agama, seperti marus, darah kerbau yang dikentalkan, dan klewek, daging mentah yang di pasu berhari-hari. Kyai Akhmad Salimlah yang kemudian membuka mata masyarakat Karang tanjung dan mengajarkan nilai-nilai agama secara benar.
Menurut cerita para ustad yang mengajar di madrasah, termasuk almarhum Ustad Sulhi, salah satu putra kyai Akhmad Salim. Semasa hidupnya, kyai Akhmad Salim termasuk guru yang amat keras dan penuh disiplin dalam mendidik para santri-santrinya. Tidak heran, jika kemudian sebagian besar para santri-santrinya berhasil menjadi kyai-kyai besar yang banyak bertebaran di sekitar kota Pandeglang. Seperti Almarhum kyai Idrus, pendiri pesantren Turus. Almarhum Kyai Saleh yang terkenal amat bersahaja. Kyai Halimi, kyai Ruyani dan masih banyak lagi. Dan para kyai-kyai itulah yang kemudian ikut mengawasi jalannya pemerintahan kota Pandeglang. Ikut menentukan berbagai keputusan apa saja yang boleh diambil demi kemajuan kota Pandeglang. Tidak heran jika kota Pandeglang hingga kini  bersih dari berbagai bentuk tempat-tempat kemaksiatan.
Almarhum Kyai Akhmad Salim, tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu agama. Ia juga menyusun buku-buku pelajar dengan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa panduan. Dari Tauhid, Fikih, Tajwidz, Akhlak, Tafsir, Nahu shorof, hingga kosa kata bahasa arab. Dan sebagian dari pelajaran-pelajaran itu ada yang disyairkan dengan tutur bahasa yang sangat indah. Ini salah satu potongan syair pelajaran Tauhid yang masih amat kuingat.

Ieu tukil lir sasigar, dina tauhid nu sonagar
Ngarana campaka ligar, lir budak nu karak megar.
Urang kabeh wajib iman, ka Allah nu langkung Rahman.
Anu ka urang nyiraman, kana sapangeusi jaman.

 Mengacu pada istilah sanad guru, para kyai-kyai keluaran Karang Tanjung yang kemudian mendirikan pesantren di berbagai penjuru kota Pandeglang. Memiliki metode mengajar dan pelajaran yang sama dengan yang pernah diajarkan Almarhum Kyai Ahmad Salim. Seperti juga di kampungku, mereka juga menggunakan kitab-kitab pelajaran hasil susunan Almarhum kyai Akhmad Salim, juga melestarikan syair-syair serta puluhan nadhoman karya beliau.
Kini tokoh ulama pujangga itu sudah tidak ada. Salah satu santri kyai syeh Nawawi Tanahara yang termashur itu, kini telah di makamkan di kampung halamannya, di Cibenying, sebelah selatan kota Pandeglang. Untuk mengenang kebesarannya di masa lalu, para murid-murid madrasah di kampungku selalu menziarahi makamnya, setiap setahun sekali, pas di bulan Mulud (Ribiul awal). Sekarang cucu-cucunya melanjutkan jejak perjuangannya. Madrasah itu, walau alakadarnya sudah mulai berkembang menyesuaikan diri dengan jamannya. Para muridnya tidak hanya sampai ibtidaiyah saja, tapi sudah ada tsanawiah dan Aliyah. Tidak seperti jaman dulu, para santri hanya sekedar mempelajari diniah, dan kitab-kitab kuning lainnya, tapi santri masa kini menambahnya dengan mempelajari ilmu alam serta matematika. Pun begitu syair-syair dan nadhoman-nadhomannya tetap dilestarikan.

3. TRADISI DAN KEBUDAYAAN

Seperti juga daerah-daerah yang lainnya, kampungku juga memiliki beberapa tradisi yang cukup unik. Namun bedanya, setiap kebudayaan yang tumbuh di sana harus mengacu pada nilai-nilai keagamaan. Untuk itu jangan heran, jika perayaan tujuh belas Agustus di kampungku, tidak semeriah perayaan maulid nabi atau rajaban misalnya. Bukan berarti masyarakat Karang Tanjung tidak mencintai tanah air, Tapi kami terbiasa diajarkan untuk meletakan cinta pada Allah dan kangjeng Rasul lebih di atas segalanya. Di samping itu kampungku juga memiliki tradisi pesta kampung, yang jatuh pada tanggal sebelas dzulhijjah. Dan juga kesenian rampag bedug, meski kini ruhnya sudah hampir padam.





RAMPAG BEDUG

Seperti juga kampung-kampung lainnya yang ada di Pandeglang, bedug merupakan salah satu alat kesenian kami yang utama. Mengapa harus bedug? Mengapa tidak jaipongan atau degung atau apapun kesenian yang lebih memiliki nilai estetika musikal yang lebih baik? Kami memilih bedug, karena menganggap bedug amat indentik dengan mesjid. Dan segala sesuatu yang indentik dengan mesjid dianggap budaya Islami. Awalnya rampag bedug dilakukan karena untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Lalu kemudian berubah menjadi adu bedug antar kampung, yang konon katanya pernah menelan beberapa korban nyawa. Hingga kemudian, rampag beduk untuk penyambutan bulan suci dilarang dan ditiadakan.
Meski sekarang rampag bedug penyambutan bulan suci sudah tiada lagi, dan para generasi baru tidak bisa menikmati kemeriahannya lagi, tapi aku masih punya sekelumit kenangan masa kecilku tentang rampag bedug. Saat itu usiaku sekitar tujuh tahunan. Dan rampag bedug masih amat dijadikan tradisi primadona. Di setiap memasuki bulan suci Ramadhan,seperti juga para pemuda dan pria dewasa yang sibuk mempersiapkan bedug-bedug besar dan mendirikan panggung bedug di lapangan. Kami juga para anak-anak tidak mau ketinggalan. Meskipun aku perempuan, saat itu akupun tidak mau ketinggalan dengan anak laki-laki. Kami para anak-anak kecil membuat bedug kecil dari kaleng susu dan di kuliti plastik bekas bungkus mi instant, lalu di ikat dengan karet gelang. Penabuhnya adalah sebilah lidi yang dikasih bendulan ujungnya dari karet gelang yang digulung-gulung. Setelah selesai, kami pergi ke arah jalan yang menuju kampung sebelah. Di sana kami membunyikan bedug-bedug kecil kami, sambil naik ke atas pohon kopi, menantang anak-anak kampung sebelah untuk beradu bedug.
Dalam adu bedug, yang dipertandingkan tidak hanya bunyi nyaring bedugnya saja. Tapi juga bunyi-bunyi musikal yang kami mainkan. Aku masih ingat beberapa judul alunan bedug yang biasa kami bawakan. Dari tilingtingtak, pingping cak-cak, tumpak pingping dan papatong bapak. Kepuasan dari adu bedug itu sendiri adalah jika kelompok kampung sebelah tidak berhasil menirukan lagu alunan bedug yang kami bawakan. Jika sudah demikian kami akan meledeknya habis-habisan. Hingga kemudian menimbulkan pijar-pijar kemarahan. Kian lama aksi ledek meledek itu kian memanas. Kelompok kami dan kelompok lawan semakin merangsak. Lalu pertikaianpun sudah tidak bisa dielakan lagi. Kami saling baku hantam satu sama lain, lalu saling berusaha menusuk dan merusakan bedug lawan. Pertikaian itu baru akan selesai jika ada salah satu anak di antara kami yang menangis. Jika sudah begitu, kami akan lari terpontang-panting ke kampung kami masing-masing.
Pola-pola adu bedug para anak-anak, tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan para orang dewasa. Awalnya para orang dewasa menaruh bedug-bedugnya di atas panggung. Membunyikannya setelah shalat taraweh atau sebelum shalat ashar. Tapi setelah mendapat aduannya, maksudnya setelah mendapat sahutan balik dari kampung sebelah,  semangatnya semakin timbul. Maka mengalirlah pola-pola musical bedug dengan berbagai gaya. Makin lama bunyinya makin rumit, sambil mempertajam pendengaran, memperhatikan bunyi musical bedug yang dibawakan lawan. Para pemuda bersorak senang setiap kali pihak lawan tidak mampu mengikuti gaya alunan bedugnya. Sebaliknya mereka akan mempertajam pendengarannya dengan keras setiap kali pihak lawan menyodorkan lagu baru. Dan kami para anak-anak dengan riang duduk di atas badan bedug yang terbuat dari batang kayu kelapa yang di bolongi, seraya menikmati sensasi getarannya setiap kali bedug itu dipukul dengan keras.
Hal itu bisa berlangsung bermalam-malam. Membakar jiwa persaingan yang kian hari kian membara. Hingga kemudian bedug-bedug besar itu di turunkan dari panggung, dan merangsek ke perbatasan kampung. Begitu juga sebaliknya dengan pihak lawan. Kalau kondisinya mulai memanas seperti itu, para orang tuapun mulai dilanda resah. Maka mereka turun tangan dan menyuruh para pemuda untuk kembali ke panggungnya masing-masing. Karena kalau dibiarkan, tak ayal lagi pertikaian besarpun di pastikan bakal terjadi. Dan itu terbukti, dengan dibawanya ke rumah sakit salah seorang pemuda kampung sebelah yang kena sabetan golok. Sejak peristiwa itu, adu bedug di bulan Ramadhan dilarang dan dihilangkan. Namun sebagai pelestarian kebudayaan, pemerintah Pandeglang memutuskan untuk mendirikan sanggar seni rampag bedug, yang hanya dipertontonkan untuk acara-acara seremonial. Maka jadilah seni rampag bedug yang di kolaborasikan dengan shalawat nabi. Dulu waktu aku kecil, sanggar rampag bedug itu masih ada dan berpusat di kampung Juhut. Tapi sekarang, aku hampir tidak mendengarnya lagi. Mungkinkah rampag bedug, salah satu kebudayaan kota Pandeglang tengah mati suri? Aku berharap suatu saat ada yang membangkitkannya lagi.

PESTA KAMPUNG

Ada beberapa pesta kampung yang sudah menjadi tradisi dari tahun ketahun. Meski kesemuanya mengacu kepada peringatan perayaan keagamaan. Misalnya memperingati maulid Nabi di bulan Rabiul awal, atau Isra mi’raj di bulan Rajab. Di antara kedua pesta itu, ada salah satu pesta kampung  yang paling meriah. Yaitu pesta ikhtifalan madrasah yang jatuh pada tanggal sebelas Julhijjah di setiap tahunnya. Tepat sehari setelah Lebaran Idul kurban.  Inilah salah satu pesta kampung, yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat Karang Tanjung.
Sebetulnya ikhtifalan ini di gelar sebagai ajang promosi, memancing para anak-anak supaya tertarik untuk masuk dan menuntut ilmu di madrasah yang letaknya di samping  rumahku. Yaitu madrasah peninggalan Almarhum kyai Akhmad Salim, yang kini dipimpin oleh para keturunannya secara turun temurun. Karena pada hakikatnya madrasah ini dibuat secara swadaya oleh masyarakat, karena itulah seluruh masyarakat yang ada di kampungku merasa memiliki andil dalam hajatan ikhtifalan itu. Maka jadilah ikhtifalan, sebagai pesta kampung yang paling meriah. Seluruh masyarakat merasa berkewajiban untuk menyumbang semampunya.
Sehari sebelum Lebaran Idul kurban, para pria sibuk membuat panggung di halaman madrasah. Keesokan harinya, seusai shalat Id, para remaja melanjutkannya dengan beramai-ramai mendekor panggung, juga seluruh sudut madrasah. Mempersiapkan berbagai sarana perlombaan, mendirikan batang pinang untuk permainan rebutan. Di barengi dengan latihan-latihan berbagai kesenian, Semacam gladi resik. Seperti latihan kosidah, nadhoman, deklamasi, salawat, hingga drama panggung. Hal itu berlangsung hingga malam. Para ibu-ibu sibuk memasak di dapur, secara berkelompok-kelompok, Dan para bapaknya secara berkelompok-kelompok juga, membuat berbagai kretifitas usungan untuk membawa berbagai makanan  yang dibuat para ibu-ibu sebagai sumbangan. Usungan-usungan itu di hias secantik mungkin dan semeriah mungkin. Ada yang menyerupai kapal-kapalan, atau rumah-rumahan, mesjid-mesjidan, atau apa saja yang mereka anggap bagus. Jika kelompok tertentu memiliki dana berlebih, mereka bahkan menambah hiasan usungan itu dengan pakaian-pakaian baru, buku, bahkan uang yang dijadikan bendera. Karena besok usungan-usungan itu, selain sebagai sumbangan untuk pesta madrasah, tapi juga di bawa  pawai keliling dari kampung ke kampung, serta  di perlombakan. Unik dan sedikit menggelikan, para bapak yang sudah cukup umur itu berlaku seperti anak kecil. Mereka berusaha mengintip usungan yang dibuat kelompok lain dan membandingkannya.
“Wah katingalina, urang nu bakal menang. Usungan-usungan yang dibuat kelompok lain mah garoreng,” ujar salah seorang bapak penuh gairah. Atau misalnya, “Hai, urang kudu nyieun dekorasi na nu leuwih meriah deui,  usungan kelompok B mah lumayan bagus. Urang ulah eleh seak.”
Keesokan paginya, pagi-pagi sekali, sepanjang dua ruas sisi jalan di sekitar madrasah sudah dipadati meja-meja kecil para pedagang musiman. Ketika aku kecil, pagi hari di hari yang meriah itu, merupakan pagi yang paling penuh semangat. Dari semalaman, aku tak sabar menunggu pagi tiba. Kami para anak-anak kecil berceloteh sambil berlarian di halaman madrasah yang terangi lampu-lampu benderang, seraya membayangkan kemeriahan pesta itu esok hari. Lalu naik ke atas panggung dan berlatih taswir (Pidato). Para remaja yang tengah sibuk mendekor panggung serta memasang tirai-tirai  penutup panggung untuk kepentingan pentas drama di setiap pergantian babak, menghardik karena merasa terganggu.
“Hayo cepat pulang, sudah malam. Kalian harus tidur, karena besok harus bangun pagi,” katanya.
“Iya ih, anak-anak kecil ini ngeganggu aja.”
Biasanya kami membandel. Dan baru akan pulang setelah berulang-ulang diomeli.
Keesokan paginya, subuh-subuh sekali aku sudah bangun. Yang pertama kali dilakukan adalah lari ke jalan, melihat kesibukan para pedagang musiman yang tengah bersiap-siap menata dagangangannya. Biasanya aku dan teman-temanku, mengawali pagi itu dengan menghitung meja-meja dan gerobag-gerobak pedagang yang berderet padat di sepanjang dua sisi jalan dengan riang. Semakin panjang deretan pedagang, semakin membuat kami senang, karena hal itu mengisyaratkan bahwa pesta ikhtifalannya akan lebih semarak.
Disaat suara spiker mulai terdengar dites dari madrasah, dengan memperdengarkan lagu-lagu kasidahan atau gambusan dari kaset, kami para anak-anak segera bergegas mandi, dan mengenakan seragam madrasah  baru, juga bahnuk baru. Hari ini, seluruh murid madrasah akan bertaswir di atas panggung itu.
Jam tujuh pagi, di halaman madrasah mulai hiruk pikuk di penuhi masa. Tidak hanya para murid madrasah, para orang tuapun berdatangan dengan mengenakan pakaian yang bersih dan rapih. Orang-orang tumpah ruah di halaman madrasah. Berbagai usungan sudah di bawa ke halaman madrasah, juga bobodor-bobodor lucu yang dibuat untuk meramaikan pawai. Para remaja sibuk membuat barisan. Kelompok dramband ada di barisan pertama, dengan seorang mayoret andalan. Di ikuti iringan murid-murid ibtidaiyah, lalu tsanawiyah. Usungan dan bobodor ada di barisan terakhir, dengan kelompok rebana para orang tua.
“Allahu akbar… Allahu akbar….Allahu akbar….” diawali teriakan gema takbir yang merindingkan bulu roma, iringan pawai itu berjalan merayap meninggalkan halaman madrasah. Dilatari musik dramband, rebana serta salawat nabi. Terus beriringan melintasi  beberapa kampung tetangga. Orang-orang berhamburan keluar rumah untuk menonton iringan pawai. Dan mereka tertawa terpingkal-pingkal melihat bobodor-bobodor yang bertingkah lucu. Sebuah mobil pick up yang berada di barisan terbelakang membawa sekelompok pemuda yang menabuh sebuah bedug besar di atasnya. Kami terus berjalan berkeliling. Dan biasanya sambil berjalan, aku tak bisa menahan senyuman aneh. Semacam kenikmatan estetika ikhtifalan yang tidak ada duanya.
Seusai pawai, acara di lanjutkan dengan pemilihan serta pengumuman usungan terbaik. Para bapak yang masuk dalam kelompok yang didaulat sebagai pemenang, berjingkrak-jingkrak senang, seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah lotre. Lalu usungan-usungan itu dibawa panitia ke rumah pemimpin madrasah untuk segera dibongkar. Makanan-makanannya disediakan untuk para tamu undangan juga murid-murid madrasah. Kareni disetiap selesai taswir, biasanya para murid akan dihadiahi satu bungkus nasi rames serta kue-kue.  Sementara pakaian baru, buku-buku, dan yang lainnya, akan segera dikemas panitia untuk hadiah perlombaan.
Pagi itu, seusai pawai, acara  akan dilanjutkan dengan berbagai perlombaan. Dari balap karung, balap sendok, balap jarum, balap makan kerupuk, tarik tambang, dan masih banyak lagi. Biasanya balap-balapan itu akan dibagi beberapa kelompok, dari anak kecil, remaja, sampai para orang tua. Yang paling seru adalah tarik tambangnya ibu-ibu juga balap karungnya bapak-bapak. Hari itu wajah-wajah diliputi semangat dan kegembiraan. Semua kemeriahan itu akan segera berhenti apabila waktu duhur tiba. Bahkan pemain rebutanpun tidak boleh melanjutkan permainannya lagi, walau batang pinang itu tidak berhasil di taklukan. Dan biasanya panitia akan segera memberikan sebuah tangga, sebagai tanda permainan telah usai.
Seusai shalat duhur, acara dilanjutkan pada intinya. Yaitu taswiran para murid madrasah satu persatu, yang akan diselingi berbagai pentas seni. Dari nadhoman, kasidahan, pembacaan deklamasi, dan berbagai karya kretifitas para murid madrasah dan para remaja kampungku. Di setiap anak murid madrasah naik ke atas panggung untuk bertaswir, para orang tuanya menyaksikan di bawah. Lalu para orang tua serta kerabat-kerabatnya melakukan saweran, melemparkan uang receh ke dalam baskom, yang di sediakan dibeberapa sudut panggung, sehingga  bergemerencing ramai di akhir sang buah hati taswir. Konon uang-uang saweran yang terkumpul nanti, akan di alokasikan sebagai uang pembangunan madrasah. Acara taswiran itu akan berlanjut hingga larut malam. Karena setiap murid di madrasah, akan mendapat giliran naik kepanggung satu persatu.
 Di akhir acara, baru akan di gelar pertunjukan teater kampung. Drama yang mengangkat kisah-kisah para nabi dan para ambiya hasil karya amatiran para remaja kampungku. Saat itulah para penonton akan menyemut di bawah panggung. Saling berdesakan satu sama lain. Para orang tuapun tak mau ketinggalan, mereka juga ingin menyaksikan putra-putrinya beraksi. Biasanya semua orang akan pulang dan membaringkan tubuhnya di atas kasur pada dini hari, setelah acara puncak itu usai. Tapi para pemuda kadang melanjutkannya dengan berkasidahan atau bergambusan hingga menjelang subuh.
Aku sendiri kurang tahu, sejak kapan sebenarnya acara Ikhtifalan madrasah itu menjadi sebuah acara yang lebih menyerupai pesta kampung. Yang jelas acara itu sudah berlangsung jauh sebelum aku lahir. Mungkin sejak kyai Akhmad Salim masih ada. Dan itu masih terus berlangsung hingga kini. Meski kadang semangatnya belakangan ini agak mengendur.

MAULIDAN DAN RAJABAN

            Kami diajarkan untuk tidak sekalipun melupakan hari-hari besar Islam. Maulid dan Rajaban adalah dua hari besar Islam yang amat kami agungkan. Setiap kedua bulan itu tiba, masyarakat di kampungku kembali disibukan oleh berbagai kegiatan keagamaan. Seperti biasa, kegiatan-kegiatan itu akan berpusat di masjid dan di madrasah. Para orang tua, selalu membuat kegiatan di mesjid, sementara para remaja memusatkannya di Madrasah, peninggalah kyai Akhmad Salim.
            Jika para orang tua menggelar pengajian dengan mendatangkan dai-dai terkenal pada malam puncak, sedang para remaja membuat acara lomba dimulai bisa tiga hari sebelum acara puncak. Dari lomba tilawah, lomba azan, lomba deklamasi, lomba kaligrapi, dan juga lomba peragaan busana muslim. Ketika aku kecil, akupun selalu ikut bagian menjadi peserta di antara lomba-lomba itu. Dan ketika remaja, akupun ikut menjadi bagian  panitia. Sistim regenerasi itu terus berlanjut hingga kini.
            Di antara kegiatan-kegiatan itu, ada sebuah tradisi yang sangat unik. Aku menyebutnya tradisi nganteuran. Semacam tradisi berbagi kasih. Setiap kali maulidan atau rajaban, ibuku di dapur selalu masak banyak sekali. Lalu menyediakan puluhan baskom hantaran, yang akan di isi nasi, lauk pauk dan juga kue-kue. Di samping hantaran besar untuk di bawa ke mesjid. Baskom-baskom hantaran itu lalu dibagikan pada para kerabat serta sahabat yang tinggal di luar kampungku sebagai tanda kasih. Begitu juga sebaliknya. Jika kerabat atau para sahabat di luar kampungku tengah merayakan maulidan atau rajaban, mereka juga akan memberi kami hantaran serupa. Sebagai tanda  berbagi kebahagiaan. Tak ayal lagi, di setiap bulan Mulud dan bulan Rajab, di rumah ibuku selalu banyak makanan.
            Yang membedakan antara perayaan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan Isra Mi’raj adalah pawai obor. Pawai obor ini hanya dilakukan pada perayaan Rajaban. Selepas magrib, sebelum acara puncak dimulai, para murid madrasah dikumpulkan di halaman madrasah. Mereka semua membawa sebuah colen (obor). Entah apa yang melatari pawai obor ini. Mungkin ini gambaran penyambutan turunnya perintah sholat pada tengah malam ditanggal Dua puluh tujuh bulan Rajab. Ketika Nabi Muhammad di jemput malaikat Jibril dan di bawa dengan menumpangi Buraq (Kendaraan syurga) ke Mesjidil Aqso lalu ke Sidratul Muntaha. Dan mungkin kami memvisualisasikan diri kami tengah menyambut kedatangan shalat itu di malam yang gelap dengan suka cita sambil membawa obor. Pendapatku ini bisa saja salah. Tapi sejak kecil, setiap kali mengikuti pawai obor itu, aku selalu membayangkan kalau aku tengah menyambut kedatangan Nabi Muhammad dari Sidrathul Muntaha yang tengah menjemput perintah Shalat langsung dari Allah Subhanahuwata’ala.
            Selepas Magrib itu, kami berbaris di halaman madrasah dengan obor-obor menyala. Almarhum ustad Sulhi, selaku pemimpin madrasah lalu memekikan gema takbir dan kami semua mengikutinya dengan mengacungkan obor ke atas disetiap pembacaan takbir.
            “Allahu Akbar…… Allahu Akbar….. Allahu Akbar….”
            Pekikan-pekikan itu kian lama kian menggetarkan. Meluluh lantakan hati yang bergelimang keharuan. Meremas cinta dan kerinduanku yang tidak seberapa besar terhadap Allah yang maha Agung dan pada Nabi Muhammad yang mulia. Di setiap moment ini, kadang aku tak bisa menahan tetesan air mata. Obor-obor yang menyala berombak di hembus angin. Lalu sambil melantunkan shalawat Badar, kami berjalan berkeliling dari kampung ke kampung. Sensasi Rajaban yang menggetarkan inilah, yang selalu menawarkan kerinduan.

            4. NYANYIAN SUNYI KOTA PARA SUFI

            Pandeglang kota, letaknya tidak jauh dari rumahku. Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit dari tempat tinggalku dengan menumpang sebuah angkot untuk sampai ke pusat kota. Tidak ada, bahkan tidak pernah terjadi kemacetan yang menghadang laju jalanan. Tidak ada kesimpang siuran kendaraan dengan bunyi-bunyi klakson yang bersahutan ramai seperti di kota-kota lain pada umumnya. Pandegelang benar-benar lengang.
            Dulu, ketika aku masih kecil. Jauh sebelum aku duduk di bangku sekolah dasar, saat itu hanya ada satu-satunya transfortasi menuju pandeglang kota yang melintasi kampungku. Yaitu si Dogong. Sebuah mobil tua berkaroseri kayu, dengan kepala bermoncong dan memiliki lobang-lobang mesin yang menyerupai gigi. Lampunya bulat, seperti sepasang mata yang tengah melotot. Untuk menjalankan mesinnya, mobil itu harus terlebih dahulu diengkol di bagian moncongnya dengan sebilah besi berbentuk siku, sambil diminumin berember-ember air.
            Dengan bersimbah keringat, si Cakong, sang kendek yang berkulit gosong, terus mengengkol-ngengkol keras. Sementara pak Mansyur, si sopir, tak henti-hentinya menstater sambil berulang-ulang menggerutu.. Sedang penumpang di belakang yang menumpuk seperti ikan pindang. Dan sudah sangat kepanasan, juga sudah kehilangan kesabaran.
            “Ayo tarik pir!” teriak para penumpang.
            “Yeuh mobil geus pinuh. Rek nungguan saha deui?”
            “Sabar. Ke sakedeng. Mesin si Dogong ngambek deui yeuh.”
            “Huuuuuu Huuuuu…. “ teriak penumpang kecewa.
            Meski begitu, tak ada satu orangpun yang berani berdiri dari tempat duduknya. Karena sekali berdiri, berarti kehilangan keberuntungan. Sebab orang-orang yang tidak kebagian bangku dan terpaksa berdesakan berdiri menggantung  di perut mobil, amat mendambakan jok kayu si Dogong yang sama sekali tidak empuk.
            “Geus digunting tacan?” biasanya sebelum si Dogong berangkat meninggalkan pasar Pandeglang, dan setelah perut si Dogong sudah disesaki penumpang, seraut wajah bulat berminyak muncul dari sera-sela belakang, dengan mengenakan kemeja sepe yang sudah kekecilan. Dialah mang Katib, satu-satunya calo di terminal pasar.
            “Hayu geura guntinglah alo Katib. Geus panas yeuh. Lila-lila asak urang di dieu yeuh,” seorang penumpang berujar sambil meringis. Jempol kakinya terinjak sebuah sandal. Sementara setengah karung belanjaan yang ditaruh di atas pangkuannya kedorong menghimpit dadanya.
            “Hayulah, urang gunting ayena bae,” kata calo Katib, laki-laki berwajah bulat dan berminyak itu lalu  menyodorkan telapak tangannya pada setiap penumpang lewat celah jendela sambil menggemerencingkan uang receh.
            “Kamana ieu?” tanyanya pada setiap penumpang.
            “Ka Karangtanjung.”
            “Ka Pagadungan.”
            “Urangmah turun di catihan. Cik ongkosna tong disaruakeun jeung nu ka Karang Tanjung.”
            “Catihan jeung Karang Tanjung mah euweuh bedana,” kata si calo ngotot. “Nu ieu kamana yeuh?” tanyanya sambil mengambil lembaran uang kucel.
            “Ka Nangor.”
            “Wuis… Kurang yeuh ongkosna. Tambah deui…. Tambah deui…”
            Si penumpang merengut. “Mahal amat. Maeunya naekna cepet amat. Kakarak geh bulan kamari kula ngongkos sakitu, kuwari geus naek deui? Euweuh duit na geh. Beak.”
            “Wiiiih ulah kitu bu. Ari ibu teu daek mayar ongkos sakitu, turun bae. Tuh tempo di handap, masih loba panumpang nu teu kabagian si Dogong.”
            Kalau sudah begitu mau tidak mau, si ibu harus menambah ongkos, dari pada harus nunggu rute si Dogong yang berikutnya. Dan itu akan memakan waktu sekitar dua sampai tiga jam. Kalau tak sabar menunggu si Dogong, silahkan naik sado, dan tentu saja harga ongkosnya lebih mahal tiga kali lipat dari harga ongkos si Dogong.
            Aku masih sangat ingat, ketika kecil dulu, ketika pertama kali ibuku mengajakku pergi ke Pasar. Saat itu usiaku sekitar empat tahunan. Selepas magrib, dan setelah belajar mengaji, ibuku bilang bahwa besok akan mengajakku ke pasar. Tentu saja aku sangat girang, saking girangnya sampai membuat pipiku memerah. Bahkan aku tak mampu menahan senyum disetiap kali kakak kakakku meledek.
“Hareun… Rek di ajak ka pasar isukan nya?” goda kakakku seraya mengerlingkan mata.
“Awas siah, naek si Dogongna nyekelan nu keunceng. Mun aya gujleugan si Dogong mah sok batuk.”
“Lain batuk teh, hitut. Muak. Ngajebrot.”
Aku hanya bisa memalingkan muka, sambil tak bisa menahan senyum. Dan ketika berangkat untuk tidurpun , aku tak hentinya tersenyum pada diriku sendiri. Ke pasar bersama ibu? Seperti apa ya pasar Pandeglang itu? Seperti apa ya rasanya naik si Dogong? Kata teman-temanku yang sudah naik si Dogong, mengatakan, kalau naik si Dogong bisa membuat pohon-pohon berlarian ke belakang. Kok bisa ya?
Malam itu aku tak henti-hentinya membayangkan bagaimana rasanya naik si Dogong. Pokoknya besok aku harus duduk di dekat jendela untuk melihat pohon-pohon yang berlarian. Malam itu, aku terlalu bergairah untuk tidak tidur. Bahkan ketika kakak-kakakku sudah pada mendengkur, aku masih tetap terjaga dengan mata menatap langit-langit kamarku yang terbuat dari anyaman bambu yang  sudah di polesi kapur putih. Sehingga kalau ada tikus di atas berlarian, kapur-kapur itu akan rontok separuh kebawah dan mengotori lantai.
Saking terlalu bersemangatnya membayangkan bakal naik si Dogong besok pagi, malam itu aku terlambat tidur. Akibatnya, pada keesokan harinya, ketika aku naik si Dogong untuk yang pertama kali, aku tak bisa mewujudkan rasa penasaranku melihat pohon-pohon berlarian. Karena selama si Dogong merayap sambil terkentut-kentut, aku justru tidur di atas pangkuan ibuku.
Melihat pasar Pandeglang untuk yang pertama kalinya, aku seperti keluar dari gerbang sepi yang selama ini mengurungku bersama indahnya kampungku. Aku terkesan, melihat begitu banyak orang berjualan. Dan orang-orang yang berlalu lalang dengan mengenakan baju-baju bagus.
Para pedagang dengan ramah menawarkan dagangannya. Ibuku menuntunku, terus berjalan melewati toko-toko yang di penuhi barang-barang indah. Dia terus mengajakku ke dalam pasar, seraya mencengkram lenganku erat-erat.
“Hayu geuraan lempangna, tong loba tumpa-teumpo,” kata ibuku.
Tapi aku tengah terpesona dengan segala keramaian serta barang-barang yang berjejer di setiap toko pasar Pandeglang yang ramai. Saat itu, pasar Pandeglang bagiku terlalu mengagumkan.
Tapi setelah aku dewasa, dan setelah aku bisa mengepakan sayapku, pergi ke berbagai kota, dan melihat banyak hal di sana, kemudian aku berkesimpulan, ternyata kota Pandeglang hanyalah sebuah kota kecil yang sangat sunyi. Dan kesunyian itu tidak beranjak sama sekali hingga kini. Bahkan setelah kutinggalkan bertahun-tahun lamanya, Pandeglang tetap berdiri dengan irama yang sama. Memang ada banyak perubahan, dengan berdirinya beberapa bangunan kecil, tapi semua itu tak berarti sama sekali.
Si Dogong memang sudah tidak ada, diganti angkutan kol, terus berubah menjadi mobil angkot, yang jumlahnya semakin banyak. Tapi pada hakikatnya suasana kota Pandeglang tetap saja sama. Bedanya kini, setiap pagi tidak lagi tampak kabut tipis menggantung di permukaan alun-alun. Pertambahan penduduk memaksa pemukiman kian padat, dan mau tidak mau hal itu mempengaruhi ekosistem. Kini Pandeglang sudah tidak sesejuk ketika aku kecil dulu.
Jika kota-kota lain berlomba-lomba merubah wajahnya menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, lalu mendirikan mall, bioskop-bioskop, café, diskotik, bahkan mungkin menyediakan lokalisasi pelacuran yang terbuka maupun yang terselubung, Pandeglang malah justru menutup diri. Ini bukan masalah penduduk Pandeglang terbelakang secara intelektual, tetapi ini lebih merupakan sebuah sikap. Juga bukan karena apriori terhadap transformasi budaya luar yang datang demikian deras, tapi setidaknya Pandeglang telah memperlihatkan sebuah ciri dan jati diri. Dan aku, sebagai generasi yang lahir dan besar di kota sunyi itu, bangga akan hal itu. Aku bisa berkata sambil menepuk dada, kota manakah yang bebas dari lokalisasi pelacuran? Kotaku. Kota manakah yang bebas dari warung remang-remang? Kotaku. Kota manakah yang tidak menerima intuisi modern yang lebih mendorong kejalan kemudharatan, seperti diskotik, café? Ya kotaku.
Konon para kyai dan para ulama yang bertebaran di setiap peloksok kotalah, yang berperan sebagai security approach. Mereka ikut memantau jalannya pemerintahan kota Pandeglang. Dan mereka pula amat berpengaruh untuk ikut menentukan serta melindungi moralitas kota Pandeglang. Kebudayaan mana sajakah yang boleh diserap penduduk Pandeglang, dan mana pula yang tidak boleh diterima. Seperti pagar baja yang mengelilingi kota Pandeglang, para kyai-kyai itu berdiri teguh berusaha memurnikan moralitas penduduk kota pandeglang dengan menentang tegas kebudayaan hedonisme yang bakal mengancam kesufian para penduduk kota Pandeglang.
Ada pribahasa yang mengatakan, Jangan memaksa membangun diskotik, atau café, atau bioskop di kota Pandeglang, karena baru turun batanya saja dari mobil, bisa dipastikan keesokan harinya bata itu bakal hancur lebur. Penduduk kota Pandeglang tidak butuh dihibur dengan dentuman house musik yang membahana. Atau alunan life musik yang dilengkapi pramuria-pramuria seksi, karena itu hanya akan membuat penduduk kota Pandeglang kelaparan terus menerus. Dan jika seseorang diserang kelaparan yang tak tertanggungkan, maka sangat memungkinkan untuk memuaskan rasa laparnya dengan cara menghalalkan segala cara. Kalau sudah demikian, tidak akan terbendung lagi, praktek kriminalitas akan merajai di mana-mana. Pandeglang bukan daerah industri. Secara geografis, Pandeglang hanyalah sebuah kota agraris. Penduduknya hanya mengandalkan pendapatan dari pertanian dan perdagangan. Jika budaya hedonisme dibiarkan masuk ke kota Pandeglang, maka memungkinkan bisa mengancam moralitas penduduk kota Pandeglang. Para pemuda, berubah jadi maling. Dan para pemudi berlomba-lomba mempercantik diri menjadi penjaja daging mentah. Itulah pendapat yang pernah saya dengar dari para ulama, mengapa mereka begitu keras menentang masuknya kebudayaan luar.
Biarlah Pandeglang tetap hadir dengan kesahajaannya. Karena kesahajaan itulah kemudian yang akan mensejahterakan penduduknya. Biarlah penduduk kota Pandeglang tidak mengenal house musik, tidak mengenal musik life, tidak mengenal film box office, tapi penduduk kota Pandeglang mengenal sebuah lagu sunyi tanpa musik yang selalu disenandungkan di setiap hari di berbagai mesjid dan majlis ta’lim. Yaitu alunan salawat nabi. Sebuah lagu penuh cinta dan sanjungan.

Thala’al badrun ‘alaina
Min saniyatil wadaa
Wajabassyukrun ‘alaina
Madaallillahi daa…..

Entah sampai kapan, Pandeglang akan tetap hadir dengan jati diri sebagai kota santri. Hanya Allah yang tahu.
Apapun itu, bagiku Pandeglang tetap istimewa. Khususnya, Karang Tanjung kampung halamanku. Karena aku lahir dan dibesarkan di sana. Kota nan sunyi itu, setiap saat selalu menggoda mimpi-mimpiku untuk datang mengunjunginya. Makan uli bakar yang dicocol  semur daging cuer buatan ibuku  atau pindang picungan yang diurapi cabe rawit grundulan dan dilengkapi lalap jengkol muda. Jika pergi ke Menes, kearah selatan kota Pandeglang, jangan  pernah lupa mencicipi balok. Getuk singkong istimewa berisi serundeng yang ditumbuk demikian halus dan diurapi bawang goreng.

Pandeglang disawang anggang
Gunung Karang mantak melang
Pajauh kantun ka tineung
Sok sieun teu tepang deui.


Cintaku untuk kota Pandeglang
            PUSKA TANJUNG   





12 komentar:

Anonim mengatakan...

Cipurut teh janis???? pengen tau lebih lanjut nih!!!!

Tatya Ang mengatakan...

Keren keren..jempol untuk anda penulis :) ,sy lahir di kota pdg,n rindu pagi yg berkabut di lapangan sukarela tp sekarang udah gak ada lg. Sejuk dingin cuma di dapat dr AC di kamar..(-̩̩̩-͡ ̗--̩̩̩͡ ) hikzzz... hikzzz...

Unknown mengatakan...

tulisannya keren teh,,, kebetulan hari ini bertepatan dengan ikhtifalan murid-murid madrasah.
Beberapa moment yang teteh sebutkan di atas sudah hilang, diantaranya tidak adanya pawai, dan kurangnya partisipasi warga dalam persiapan acara tersebut..

Anonim mengatakan...

teh izin shared biar orang karangtanjung tau itu yang namanya pasir sanghiyang,,,,heeeee,,,,

teguhfachmi mengatakan...

Dalam perjalannya cipurut kini telah menjadi mega proyek raja raja kecil kapitalis karangtanjung, tiap tahun mata airnya dilelang puluhan juta jumlahnya, masyarakat hanya bisa nonton. Uang hasil lelang jd bahan gunjingan, lemahnya transparansi, buruknya manajemen serta ketidakjelasan penyaluran uang jadi tontonan mereka saat ini.. oh cipurut riwayatmu duluuu.....

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar 750juta saya sters hamper bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu dengan kyai ronggo, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI RONGGO KUSUMO kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan penarikan uang gaib 3Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 3M yang saya minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada. Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi kyai ronggo kusumo di 082349356043 situsnya www.ronggo-kusumo.blogspot.com agar di berikan arahan. Toh tidak langsung datang ke jawa timur, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sama baik, jika ingin seperti saya coba hubungi kyai ronggo kusumo pasti akan di bantu

Unknown mengatakan...

Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua,
Sengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan
Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar 800juta saya stres hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu dengan kyai sukmo joyo, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SUKMO JOYO kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan penarikan uang gaib 5Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 5M yang saya minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada. Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi kyai sukmo joyo di 0823.9998.5954 situsnya www.sukmo-joyo.blogspot.co.id agar di berikan arahan. Toh tidak langsung datang ke jawa timur, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sama baik, jika ingin seperti saya coba hubungi kyai sukmo joyo pasti akan di bantu

Cerita pena mengatakan...

Bareto sok ulin Kaditu Kiwari boro" rek ulin mudik we 2 tahun sekali salamna we lah to budak gilimerta :v

Unknown mengatakan...

Alhamduillah wa syukrulillah 'ala ni'matillah mugia urang sadaya Aya Dina ridho Rahmat Allah, nyuhunkeun do'ana kasadayana insya pami diparengkeun sim pribados Bade ngayakeun haul KH Ahmad Salim pendiri Al-Falah tahun 1920 bin KH muhmmad amin bin nyi.katijah anu terasna ka syeh Abdul Jabbar bilih Aya wargi anu kapungkur kantos mondok nyuhuunkeun piduana mugia kenging izin Bade haul pun kiyai

view mengatakan...

Thanks for sharing

Bung Muhlas mengatakan...

Mantappp

Bung Muhlas mengatakan...

Nama penulisnya siapa, saya mau bersilaturahmi kalau boleh 🙏

Posting Komentar

 

Puska Tanjung Blog © 2012 | designed by Me