BAB 1
Cuaca sore di lembah bunga puncak Ciawi terasa sejuk sekaligus hangat. Tadi pagi gerimis turun menyirami pucuk-pucuk daun teh yang menghijau, kini matahari bersinar cerah menyapu kelembaban kelopak-kelopak bunga dengan kelembutan angin semilir. September merupakan bulan seimbang antara curah hujan dan matahari.
Beberapa pekerja terlihat sibuk memanen berbagai jenis bunga diperkebunan yang dipayungi jaring penahan sinar matahari. Juga di perut rumah-rumah kaca besar yang dibangun berjajar di ujung lembah. Lalu mereka membawa bunga-bunga itu ke gudang yang terletak di samping rumah besar. Rumah sang juragan perkebunan. Di sana terdapat beberapa pekerja wanita yang bertugas menyortil sekaligus mengemas bunga-bunga itu dengan kertas cantik. Di sudut gudang ada sekelompok gadis muda yang tengah asyik meronce putik-putik bunga melati mungil dengan trampil sambil bergosip. Mereka membuat penghias sanggul pengantin, Ronce pemanis dekorasi pelaminan, juga penutup bahu untuk ritual siraman. Lalu hasil roncean itu akan dikemas dengan hati-hati dan dimasukan ke dalam lemari pendingin supaya tetap segar. Dini hari nanti bunga-bunga itu akan dibawa ke Jakarta, memenuhi permintaan toko-toko bunga dan juga tukang rias langganan.
Topik bahasan para gadis sore ini berkutat seputar Ananda, putri pak Waldiono, salah satu buruh di perkebunan bunga ini. Ananda memang sedang menjadi buah bibir. Tidak hanya di perkebunan, bahkan hampir di setiap penjuru wilayah tempat Ananda tinggal. Penampilannya yang memukau di salah satu statsiun tivi telah membuat orang-orang tercengang. Bagaimana mungkin anak seorang buruh miskin bisa memainkan musik shimponi sedemikian indah?
Tentu saja semua itu berkat kemurahan hati pak Kuswanda Natakusuma, juragan besar perkebunan bunga.
Beberapa gadis dengan tulus mengungkapkan kekagumannya pada Ananda. Tapi ada juga sebagian yang menanggapinya sinis penuh dengan kedengkian. Meskipun demikian tak ada yang bisa menyangkal kalau Ananda memang gadis yang sangat beruntung. Walaupun ia berasal dari keluarga miskin, tapi Tuhan telah menganugrahi gadis remaja itu, kecantikan dan talenta yang luar biasa. Khususnya dibidang musik. Hal itulah yang membuat seluruh keluarga Kuswanda Natakusuma jatuh cinta padanya. Jika kemudian mereka membiayai sekolah Ananda dan mendatangkan guru les piano ke rumahnya dengan bayaran yang cukup mahal, semua itu dilakukan karena semata-mata mereka tahu, pengorbanannya tidak akan sia-sia. Bakat besar yang dimiliki Ananda merupakan jaminan yang tak terbantahkan. Pak Kuswanda mulai menyadari kelebihan Ananda, ketika gadis itu duduk di bangku kelas tiga SD.
Semua itu bermula dari ketertarikan dan keberanian seorang bocah kecil.
Ananda dibesarkan di sebuah lingkungan perkampungan kecil, yang terletak di balik bukit perkebunan bunga. Di mana masyarakatnya sebagian besar berpropesi sebagai pencocok tanam atau buruh tani. Rumah-rumah di perkampungan itu berjajar dan berdesakan di sepanjang jalan desa yang beraspal tipis dengan pagar-pagar bambu yang sengaja dicat seragam. Ada sebagian rumah tembok sederhana tapi ada juga yang masih berdinding bilik bambu. Di samping itu masih tersisa satu dua rumah panggung tradisional yang berkolong dengan atap daun rumbia. Namun demikian setiap rumah seakan dihidupkan dengan aneka tanaman bunga di pelataran. Mereka menanam ros, anggrek, krisan dengan aneka warna bunga yang menyegarkan mata. Iklim yang sejuk secara geografis telah membuat bunga-bunga itu tumbuh subur. Got-got saluran air buangan yang terbuka di sepanjang pinggir dua ruas jalan sama sekali tidak menebarkan bau. Kebersihan di perkampung kecil ini dijaga penuh. Para pria bergotong royong membersihkan kampung setiap dua minggu sekali secara berkala, sementara para ibu sibuk menyediakan makanan. Warga di sini sudah terbiasa saling bahu membahu membersihkan dan memperindah kawasan tempat tinggalnya. Ini adalah kampung percontohan. Langganan penghargaan hampir di setiap tahun. Penduduknya bangga akan hal itu.
Keluarga Ananda sendiri tinggal di sebuah rumah kecil berdinding tembok setengah badan. Berdesakan dengan rumah-rumah yang lainnya. Sebagian dinding rumah ke atas terbuat dari bilik bambu yang di cat kapur. Sehingga kalau kita bersandar, kapur-kapur itu akan menempel mengotori kulit. Rumah itu sendiri adalah warisan dari orang tua Sutina, ibunya Ananda. Pada hakikatnya Sutina merupakan pribumi di kampung itu. Ibunya, neneknya, kakek piutnya semuanya tinggal dan mati di sini. Konon seratus tahun yang lalu, kakek piut Anandalah yang membuka hutan perawan itu menjadi tempat pemukiman keluarga. Tak heran jika hampir seluruh penduduk kampung kecil itu memiliki pertalian darah.
Sementara bapaknya Ananda, pak Waldiono, seorang perantau yang berasal dari Berebes. Kota perbatasan antara Jawa barat dan Jawa tengah yang gersang. Daerah pesisir pantai yang panas dan berdebu. Rumah tempat tinggalnya hanya berjarak sepuluh tonggak dari tugu perbatasan. Istilah kata, ia bisa kencing di Jawa barat dan cebok di Jawa tengah. Seperti kebanyakan para perantau dari Jawa, pak Waldiono merupakan pekerja ulet, tak pernah mengeluh dan selalu santun. Ia ayah yang sangat sabar dan penyayang. Ananda sangat membanggakan ayahnya, meski ia tidak pernah suka dengan logat bicaranya yang beraksen jawa kental dan medok.
Seperti kebanyakan para penduduk di kampung kecil itu, keluarga Ananda juga menggantungkan hidupnya dari perkebunan bunga milik pak Kuswanda Natakusuma. Mereka dipekerjakan sebagai buruh, menyirami bunga, menyemai, menyetek, membuat media baru, mengolah pupuk sampai mengemas bunga-bunga yang siap dipasarkan. Jika ada waktu sisa, baru mereka menyempatkan diri menggarap tanahnya yang tidak seberapa luas, menanam jagung manis, talas, singkong atau ubi jalar.
0 komentar:
Posting Komentar