Kian hari pohon randu itu kian meranggas. Kemarin daun-daun randu itu masih tersisa beberapa helai meski sudah mengering. Tapi kini sudah berguguran semua. Hingga hanya tertinggal rantingnya saja. “Sebentar lagi dia akan mati,” gumam Puun Jarwo seraya mengawasi pohon randu yang berdiri di depan pelataran rumah panggung kecilnya yang reot. Tatapan matanya menyipit, penuh bara dendam.
Laki-laki tua itu duduk setengah jongkok di amben teoh depan rumah panggungnya. Matanya yang kelam tak henti mengawasi pohon randu yang mulai meranggas. Selinting rokok klobot dengan aroma tembakau pekak, terjepit menyala di sela jemari tuanya yang keriput. Asapnya lari terbawa angin. Berulang-ulang KI Jarwo Menghisap rokok klobotnya dalam-dalam sampai pipi keriputnya kempot. Lalu menghembuskan asap kekuningan dari lobang hidungnya, seraya tak berkedip menatap pohon randu dengan dahan-dahan gundul seperti tangan-tangan yang terentang. Kulit batangnya yang hijau mulai kecoklatan. Menurut perhitungannya, tak akan menunggu lama, pohon randu itu akan segera mati. Tak akan menunggu sampai satu bulan sejak ia menancapkan sebilah paku di pangkal batangnya.
Semua ini dia lakukan demi Keling, anjing hitam gagah kesayangannya. Keling berhak mendapatkan semua ini, katanya dalam hati. Kematiannya adalah tragedi. Baginya Keling bukan sekedar anjing penjaga yang selalu setia menemaninya ke kebun atau ke hutan. Ia lebih dari sekedar itu. Anjing itu telah ia pelihara sejak dari kurik hingga menjadi anjing jantan perkasa. Ia belahan jiwanya. Obat pelipur lara dalam kesunyian hidupnya yang panjang. Biasanya di setiap pagi, ia dan Keling selalu jongkok berdua di depan tungku menyala, menunggu jerangan air sambil menghangatkan tubuh. Lalu ia senantiasa bercerita banyak hal pada Keling seraya mengelus-ngelus bulu hitamnya hingga mengkilat. Hanya kelinglah satu-satunya tempat ia berkeluh kesah, tak perduli meski Keling tak pernah memahami apa yang ia ucapkan. Puun Jarwo banyak bercerita tentang mendiang istrinya yang meninggalkannya tanpa memberikan keturunan. Juga tentang kesepiannya yang kini hidup sebatang kara. Jika sore tiba, ia akan duduk di tepi amben teoh depan, meregangkan otot-ototnya setelah seharian bekerja di kebun. Lalu Keling menggeser-geserkan ekornya dengan manja di permukaan kulit betisnya. Tapi kini Keling sudah mati. Ki Jarwo tidak lagi punya teman. Ia tidak lagi memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Kini ia benar-benar sendiri, dan amat kesepian.
Dua hari lamanya Keling menghilang. Ki Jarwo kalang kabut. Seperti seorang ayah yang kehilangan anaknya, ia mencari kesana kemari, menanyakannya pada setiap orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Hingga di suatu sore yang lembab, setelah hujan mengguyur seharian, ia menemukan bangkai Keling terapung di tepi sungai dalam keadaan remuk. Saat itu Ki Jarwo merasakan empedunya naik ke tenggorokan. “Ini pasti ulah orang kota,” makinya dengan rahang bergemeletuk. seraya menaikan tubuh Keling ke pinggir sungai.
Belakangan ini, memang dusunnya sering didatangi orang-orang dari kota. Ada yang sengaja datang hanya sekedar berkunjung sambil memotret disana-sini, lalu menanyakan banyak hal pada penduduk desa. Tapi disamping itu tidak sedikit pula orang-orang kota yang datang untuk berburu. Mereka biasanya datang secara rombongan, adakalanya hanya satu mobil atau bahkan dua sampai tiga mobil. Orang-orang kota itu menyisir kebun penduduk dan masuk ke dalam hutan dengan senjata angin terkokang di tangan. Mereka memburu babi, menembaki tupai, burung dan binatang apapun yang mereka temukan di hutan. Ki Jarwo tidak pernah menyukai orang-orang kota itu. Menurutnya kebanyakan dari mereka sangat angkuh, selalu bersikap seenaknya hingga tidak menganggap sebelah matapun pada penduduk desa. Selain itu mereka juga banyak menimbulkan kerusakan. Setengah bulan yang lalu, separuh kebun singkong Ki Jarwo luluh lantak digilas sepatu-sepatu kekar mereka. Sebelumnya pagar kebun kacangnya dicabuti sehingga segerombolan kambing tetangga masuk dan melahap daun kacangnya yang baru saja merambati teturus. Ia juga mendengar beberapa tetangganya yang mengeluhkan kelakuan urakan orang-orang kota itu, yang dengan seenaknya merusak pematang sawah, meninggalkan sisa api unggun di hutan sehingga menimbulkan kebakaran. “Untung saja keburu ketahuan. Kalau tidak, api itu akan membesar dan membakar hutan,” ucap tetangganya. “Dasar orang kota bodoh, sama sekali tidakmengerti kalau perbuatannya akan menimbulkan bahaya.” Sejauh itu Ki Jarwo masih memaafkan mereka.
Tapi setelah Keling mati, ia tidak lagi mau bertoleransi. Sejak melihat kondisi bangkai Keling yang remuk, ia yakin, kalau Keling mati karena tergilas mobil orang-orang kota itu. Seusai menguburkan jasad Keling di bawah pohon randu, puun Jarwo berlalu ke dapur, mencari sebilah paku dan sebuah martil. Sejenak ia melakukan ritual singkat di dalam kamar gelapnya. Setelah usai, Ki Jarwo keluar dari kamar gelap itu sambil berkomat-kamit, lalu kembali ke bawah pohon randu. Saat ini tengah musim penghujan. Pohon randu itu terlihat subur. Daunnya hijau dan lebat. Tapi umurnya tidak akan lama lagi, kata Ki Jarwo dalam hati. Setelah mengawasi pohon itu beberapa saat, ia berjongkok di bawahnya, membenamkan ujung paku ke pangkal batang pohon. Kemudian ia berkata diliputi bara dendam yang mengerikan. “Siapapun yang telah menghilangkan nyawa Keling, Aku akan memastikan nasibnya akan sama dengan pohon randu ini.” Guntur menyambar dengan suaranya yang menggelegar, seolah langit memprotes perbuatan keji Ki Jarwo. Bersamaan dengan itu, dengan bibir mengicut ketat ke pinggir diliputi amarah, laki-laki tua itu memukul-mukul kepala paku dengan martil hingga terbenam habis.
“Sekarang tinggal menunggu perkembangannya. Aku tidak pernah gagal,” bibir Ki Jarwo menyunggingkan senyum puas. Orang kota itu harus dikasih pelajaran. Selamanya Ki Jarwo tidak menyukai orang kota. Mereka selalu datang seperti segerombolan maling. Lalu pulang setelah melakukan pengrusakan. Tanpa meminta maaf. Tanpa rasa bersalah. Kadang Ki Jarwo merasa heran sendiri pada prilaku orang kota. Mereka selalu menganggap dirinya pintar, dan selalu memberikan berbagai penyuluhan pada warga dusunnya. Mendirikan sekolah dan menyuruh anak-anak dusunnya untuk belajar di sana. Menghimbau semua orang dusun untuk belajar baca tulis, tapi untuk apa jika mereka juga melakukan pengrusakan di mana-mana. “Kami memang tidak bisa baca tulis, tapi hutan kami terjaga. Tidak pernah membunuh binatang melebihi kebutuhan. Untuk apa kalian meminta warga dusun ini untuk belajar baca tulis?” ujar Ki Jarwo ketika kedatangan dua orang pemuda berseragam ke rumahnya. “Ya kalau bisa baca tulis biar tidak mudah dibohongin orang ki.” Ki Jarwo tertawa sinis. “Kalian sendiri yang suka berbohong, suka mencuri, suka saling bunuh. dan kalian sendiri yang serakah. Meskipun kami tidak bisa baca tulis, hidup sederhana, tapi kami merasa tentram. Asal jangan kalian rusak hutan kami.”
Bagi Ki Jarwo, orang-orang kota itu tak lebih dari para pembual dan suka bersilat lidah. Menyuruh warganya belajar membaca, padahal orang kota sendiri yang tidak mampu membaca alam. Memberikan penyuluhan moral padahal dirinya sendiri yang amoral. Mengajari cara hidup beradab, padahal dirinya sendiri yang biadab. Jika ada orang kota yang merebut hatinya hanya satu, yaitu Surya. Pemuda itu pengecualian. Ia berbeda dengan orang-orang kota lainnya yang datang ke dusunnya. Surya adalah pemuda yang sangat santun. Di samping itu ia amat menghargai orang-orang dusun. Surya sama sekali tidak canggung makan dengan gesek panggang daun kopi dan sambal terasi di dapur Ki Jarwo yang kotor. Dia juga kadang membantu warga memasarkan gula aren dan madu teuweul ke kota. Sikapnya yang membaur membuat Ki Jarwo simpatik dan jatuh cinta padanya.
Perkenalan pertamanya terjadi, ketika Surya datang ke rumahnya. Pemuda itu mewakili nama-nama atasannya yang tidak ia kenal. Mereka berbicara cukup lama. Intinya ia meminta ijin secara resmi kepada seluruh masyarakat dusun melalui Ki Jarwo sebagai sesepuh, untuk mendirikan pabrik air mineral di atas tebing sindang. Setelah itu beberapa bulan berlalu dan pemuda itu datang kembali dengan wajah pucat. “Ki tolong saya, ada beberapa pegawai di pabrik kesurupan.” Dan Ki Jarwopun bergegas. Sejak saat itu hubungan mereka menjadi dekat. Sangat dekat. Bahkan cukup intim. Jika punya waktu luang, Surya selalu menyempatkan diri bertandang ke rumah panggung kecilnya sekedar untuk ngobrol dan menghadiahinya beberapa bungkus rokok yang wangi. Kadang Surya sampai tertidur di amben teohnya. Tak terpungkiri, kian hari Ki Jarwo kian menyukai pemuda itu. Bahkan dengan penuh kesadaran ia telah menganggap pemuda itu sebagai putranya.
Surya tinggal di rumah tembok yang dibangun di ujung dusun tak jauh dari pabrik. Setiap hari libur ia selalu pamit pada Ki Jarwo untuk pulang ke kota. Dan ketika kembali, ia selalu membawa banyak oleh-oleh buat Ki Jarwo. Tapi kini sudah hampir dua minggu Surya tidak muncul. Tepatnya sejak ia berpamitan untuk pulang ke kota di suatu siang yang mendung. Tidak ada oleh-oleh yang mampir ke rumahnya. Sudah tidak ada satu batangpun rokok wangi yang selalu diberikan surya untuknya. Kemanakah anak itu? Mata Ki Jarwo tak berkedip menatap pohon randu yang sudah menjadi ranting. Ia semakin merasa kesepian. Langit sore berwarna jingga, dan cahayanya yang kekuningan menerpa wajah keriput nya. Tangannya dengan terampil menaruh tembakau kepermukaan daun kaung, lalu melintingnya. Ia amat rindu rokok wangi pemberian surya. Sudah lama ia tidak menghisap rokok daun kaung pekak seperti ini, tepatnya sejak Surya selalu memberikannya berbungkus-bungkus rokok dari kota dengan tembakau beraroma sedap. Tapi kini rokok kretek wangi itu sudah habis. Tidak ada satu batangpun tersisa di sunduk biliknya.
Kemarin Ki Jarwo terpaksa menitip uang pada tetangganya yang mau turun gunung untuk menjual madu teuwel, supaya membelikannya dua iris tembakau di tokonya koh Ahong di sudut terminal pasar.
Pada saat itu sebuah mobil jeep berwarna hitam menepi di depan rumah panggung kecilnya. Itu mobil Surya. Seketika bola mata Ki Jarwo berbinar, ia segera membatalkan lintingan rokok daun kaungnya. Surya pasti membawakan rokok kretek wangi untuknya. Ki Jarwo segera turun dari bibir amben teohnya. Ia akan segera mengadukan tentang kematian Keling dan pohon randu itu pada Surya. Tapi kemudian dia heran, karena yang turun dari mobil bukanlah Surya, tapi pemuda lain. Temannya Surya. Pemuda itu bergegas mendekatinya dan menyapa dengan ramah. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan berita buruk pada Aki,” kata pemuda itu setelah duduk di sampingnya. “Berita buruk apa?” tanya Ki Jarwo heran. “Ini tentang Surya, ia sakit parah,” kata pemuda itu lagi. Lalu lanjutnya, “sepulang dari sini, tiba-tiba Surya jatuh sakit. Keluarganya sudah membawanya ke rumah sakit. Tapi tidak ada satu dokterpun yang memahami penyakit Surya. Anehnya penyakitnya langsung parah. Dan sekarang dia sekarat.” Seketika Ki Jarwo merasakan darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya berpaling pada pohon randu yang sudah meranggas. “Apakah Surya pernah bercerita tentang anjing sebelumnya?” tanya Ki Jarwo gamang. “Anjing..?” pemuda itu berpikir sejenak. “O iya, sebelum pulang ke kota, Surya sempat cerita pada saya, kalau ia menabrak seekor anjing tanpa sengaja, lalu membuang bangkainya ke sungai.” Jelaslah sudah. Dirinyalah yang telah membunuh Surya.
Langit serasa runtuh di atas kepalanya. Setelah pemuda itu pergi. Ki Jarwo mengambil sebilah golok yang terselip di sela dinding bilik dapurnya. Ia lari ke dalam hutan sambil berteriak sekuatnya. Makin ke dalam hutan. Goloknya menyabiti setiap pohon yang dilewatinya. Seraya mengutuk dirinya sendiri, Ki Jarwo menyurukan kepalanya ke dalam gerombolan ilalang. Ia menangis tersedu-sedu diliputi penyesalan yang tak terhingga. Ia sudah dapat memastikan, kalau pohon randupun akan segera mati. (PUSKA TANJUNG)
Semua ini dia lakukan demi Keling, anjing hitam gagah kesayangannya. Keling berhak mendapatkan semua ini, katanya dalam hati. Kematiannya adalah tragedi. Baginya Keling bukan sekedar anjing penjaga yang selalu setia menemaninya ke kebun atau ke hutan. Ia lebih dari sekedar itu. Anjing itu telah ia pelihara sejak dari kurik hingga menjadi anjing jantan perkasa. Ia belahan jiwanya. Obat pelipur lara dalam kesunyian hidupnya yang panjang. Biasanya di setiap pagi, ia dan Keling selalu jongkok berdua di depan tungku menyala, menunggu jerangan air sambil menghangatkan tubuh. Lalu ia senantiasa bercerita banyak hal pada Keling seraya mengelus-ngelus bulu hitamnya hingga mengkilat. Hanya kelinglah satu-satunya tempat ia berkeluh kesah, tak perduli meski Keling tak pernah memahami apa yang ia ucapkan. Puun Jarwo banyak bercerita tentang mendiang istrinya yang meninggalkannya tanpa memberikan keturunan. Juga tentang kesepiannya yang kini hidup sebatang kara. Jika sore tiba, ia akan duduk di tepi amben teoh depan, meregangkan otot-ototnya setelah seharian bekerja di kebun. Lalu Keling menggeser-geserkan ekornya dengan manja di permukaan kulit betisnya. Tapi kini Keling sudah mati. Ki Jarwo tidak lagi punya teman. Ia tidak lagi memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Kini ia benar-benar sendiri, dan amat kesepian.
Dua hari lamanya Keling menghilang. Ki Jarwo kalang kabut. Seperti seorang ayah yang kehilangan anaknya, ia mencari kesana kemari, menanyakannya pada setiap orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Hingga di suatu sore yang lembab, setelah hujan mengguyur seharian, ia menemukan bangkai Keling terapung di tepi sungai dalam keadaan remuk. Saat itu Ki Jarwo merasakan empedunya naik ke tenggorokan. “Ini pasti ulah orang kota,” makinya dengan rahang bergemeletuk. seraya menaikan tubuh Keling ke pinggir sungai.
Belakangan ini, memang dusunnya sering didatangi orang-orang dari kota. Ada yang sengaja datang hanya sekedar berkunjung sambil memotret disana-sini, lalu menanyakan banyak hal pada penduduk desa. Tapi disamping itu tidak sedikit pula orang-orang kota yang datang untuk berburu. Mereka biasanya datang secara rombongan, adakalanya hanya satu mobil atau bahkan dua sampai tiga mobil. Orang-orang kota itu menyisir kebun penduduk dan masuk ke dalam hutan dengan senjata angin terkokang di tangan. Mereka memburu babi, menembaki tupai, burung dan binatang apapun yang mereka temukan di hutan. Ki Jarwo tidak pernah menyukai orang-orang kota itu. Menurutnya kebanyakan dari mereka sangat angkuh, selalu bersikap seenaknya hingga tidak menganggap sebelah matapun pada penduduk desa. Selain itu mereka juga banyak menimbulkan kerusakan. Setengah bulan yang lalu, separuh kebun singkong Ki Jarwo luluh lantak digilas sepatu-sepatu kekar mereka. Sebelumnya pagar kebun kacangnya dicabuti sehingga segerombolan kambing tetangga masuk dan melahap daun kacangnya yang baru saja merambati teturus. Ia juga mendengar beberapa tetangganya yang mengeluhkan kelakuan urakan orang-orang kota itu, yang dengan seenaknya merusak pematang sawah, meninggalkan sisa api unggun di hutan sehingga menimbulkan kebakaran. “Untung saja keburu ketahuan. Kalau tidak, api itu akan membesar dan membakar hutan,” ucap tetangganya. “Dasar orang kota bodoh, sama sekali tidakmengerti kalau perbuatannya akan menimbulkan bahaya.” Sejauh itu Ki Jarwo masih memaafkan mereka.
Tapi setelah Keling mati, ia tidak lagi mau bertoleransi. Sejak melihat kondisi bangkai Keling yang remuk, ia yakin, kalau Keling mati karena tergilas mobil orang-orang kota itu. Seusai menguburkan jasad Keling di bawah pohon randu, puun Jarwo berlalu ke dapur, mencari sebilah paku dan sebuah martil. Sejenak ia melakukan ritual singkat di dalam kamar gelapnya. Setelah usai, Ki Jarwo keluar dari kamar gelap itu sambil berkomat-kamit, lalu kembali ke bawah pohon randu. Saat ini tengah musim penghujan. Pohon randu itu terlihat subur. Daunnya hijau dan lebat. Tapi umurnya tidak akan lama lagi, kata Ki Jarwo dalam hati. Setelah mengawasi pohon itu beberapa saat, ia berjongkok di bawahnya, membenamkan ujung paku ke pangkal batang pohon. Kemudian ia berkata diliputi bara dendam yang mengerikan. “Siapapun yang telah menghilangkan nyawa Keling, Aku akan memastikan nasibnya akan sama dengan pohon randu ini.” Guntur menyambar dengan suaranya yang menggelegar, seolah langit memprotes perbuatan keji Ki Jarwo. Bersamaan dengan itu, dengan bibir mengicut ketat ke pinggir diliputi amarah, laki-laki tua itu memukul-mukul kepala paku dengan martil hingga terbenam habis.
“Sekarang tinggal menunggu perkembangannya. Aku tidak pernah gagal,” bibir Ki Jarwo menyunggingkan senyum puas. Orang kota itu harus dikasih pelajaran. Selamanya Ki Jarwo tidak menyukai orang kota. Mereka selalu datang seperti segerombolan maling. Lalu pulang setelah melakukan pengrusakan. Tanpa meminta maaf. Tanpa rasa bersalah. Kadang Ki Jarwo merasa heran sendiri pada prilaku orang kota. Mereka selalu menganggap dirinya pintar, dan selalu memberikan berbagai penyuluhan pada warga dusunnya. Mendirikan sekolah dan menyuruh anak-anak dusunnya untuk belajar di sana. Menghimbau semua orang dusun untuk belajar baca tulis, tapi untuk apa jika mereka juga melakukan pengrusakan di mana-mana. “Kami memang tidak bisa baca tulis, tapi hutan kami terjaga. Tidak pernah membunuh binatang melebihi kebutuhan. Untuk apa kalian meminta warga dusun ini untuk belajar baca tulis?” ujar Ki Jarwo ketika kedatangan dua orang pemuda berseragam ke rumahnya. “Ya kalau bisa baca tulis biar tidak mudah dibohongin orang ki.” Ki Jarwo tertawa sinis. “Kalian sendiri yang suka berbohong, suka mencuri, suka saling bunuh. dan kalian sendiri yang serakah. Meskipun kami tidak bisa baca tulis, hidup sederhana, tapi kami merasa tentram. Asal jangan kalian rusak hutan kami.”
Bagi Ki Jarwo, orang-orang kota itu tak lebih dari para pembual dan suka bersilat lidah. Menyuruh warganya belajar membaca, padahal orang kota sendiri yang tidak mampu membaca alam. Memberikan penyuluhan moral padahal dirinya sendiri yang amoral. Mengajari cara hidup beradab, padahal dirinya sendiri yang biadab. Jika ada orang kota yang merebut hatinya hanya satu, yaitu Surya. Pemuda itu pengecualian. Ia berbeda dengan orang-orang kota lainnya yang datang ke dusunnya. Surya adalah pemuda yang sangat santun. Di samping itu ia amat menghargai orang-orang dusun. Surya sama sekali tidak canggung makan dengan gesek panggang daun kopi dan sambal terasi di dapur Ki Jarwo yang kotor. Dia juga kadang membantu warga memasarkan gula aren dan madu teuweul ke kota. Sikapnya yang membaur membuat Ki Jarwo simpatik dan jatuh cinta padanya.
Perkenalan pertamanya terjadi, ketika Surya datang ke rumahnya. Pemuda itu mewakili nama-nama atasannya yang tidak ia kenal. Mereka berbicara cukup lama. Intinya ia meminta ijin secara resmi kepada seluruh masyarakat dusun melalui Ki Jarwo sebagai sesepuh, untuk mendirikan pabrik air mineral di atas tebing sindang. Setelah itu beberapa bulan berlalu dan pemuda itu datang kembali dengan wajah pucat. “Ki tolong saya, ada beberapa pegawai di pabrik kesurupan.” Dan Ki Jarwopun bergegas. Sejak saat itu hubungan mereka menjadi dekat. Sangat dekat. Bahkan cukup intim. Jika punya waktu luang, Surya selalu menyempatkan diri bertandang ke rumah panggung kecilnya sekedar untuk ngobrol dan menghadiahinya beberapa bungkus rokok yang wangi. Kadang Surya sampai tertidur di amben teohnya. Tak terpungkiri, kian hari Ki Jarwo kian menyukai pemuda itu. Bahkan dengan penuh kesadaran ia telah menganggap pemuda itu sebagai putranya.
Surya tinggal di rumah tembok yang dibangun di ujung dusun tak jauh dari pabrik. Setiap hari libur ia selalu pamit pada Ki Jarwo untuk pulang ke kota. Dan ketika kembali, ia selalu membawa banyak oleh-oleh buat Ki Jarwo. Tapi kini sudah hampir dua minggu Surya tidak muncul. Tepatnya sejak ia berpamitan untuk pulang ke kota di suatu siang yang mendung. Tidak ada oleh-oleh yang mampir ke rumahnya. Sudah tidak ada satu batangpun rokok wangi yang selalu diberikan surya untuknya. Kemanakah anak itu? Mata Ki Jarwo tak berkedip menatap pohon randu yang sudah menjadi ranting. Ia semakin merasa kesepian. Langit sore berwarna jingga, dan cahayanya yang kekuningan menerpa wajah keriput nya. Tangannya dengan terampil menaruh tembakau kepermukaan daun kaung, lalu melintingnya. Ia amat rindu rokok wangi pemberian surya. Sudah lama ia tidak menghisap rokok daun kaung pekak seperti ini, tepatnya sejak Surya selalu memberikannya berbungkus-bungkus rokok dari kota dengan tembakau beraroma sedap. Tapi kini rokok kretek wangi itu sudah habis. Tidak ada satu batangpun tersisa di sunduk biliknya.
Kemarin Ki Jarwo terpaksa menitip uang pada tetangganya yang mau turun gunung untuk menjual madu teuwel, supaya membelikannya dua iris tembakau di tokonya koh Ahong di sudut terminal pasar.
Pada saat itu sebuah mobil jeep berwarna hitam menepi di depan rumah panggung kecilnya. Itu mobil Surya. Seketika bola mata Ki Jarwo berbinar, ia segera membatalkan lintingan rokok daun kaungnya. Surya pasti membawakan rokok kretek wangi untuknya. Ki Jarwo segera turun dari bibir amben teohnya. Ia akan segera mengadukan tentang kematian Keling dan pohon randu itu pada Surya. Tapi kemudian dia heran, karena yang turun dari mobil bukanlah Surya, tapi pemuda lain. Temannya Surya. Pemuda itu bergegas mendekatinya dan menyapa dengan ramah. “Saya datang ke sini untuk menyampaikan berita buruk pada Aki,” kata pemuda itu setelah duduk di sampingnya. “Berita buruk apa?” tanya Ki Jarwo heran. “Ini tentang Surya, ia sakit parah,” kata pemuda itu lagi. Lalu lanjutnya, “sepulang dari sini, tiba-tiba Surya jatuh sakit. Keluarganya sudah membawanya ke rumah sakit. Tapi tidak ada satu dokterpun yang memahami penyakit Surya. Anehnya penyakitnya langsung parah. Dan sekarang dia sekarat.” Seketika Ki Jarwo merasakan darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya berpaling pada pohon randu yang sudah meranggas. “Apakah Surya pernah bercerita tentang anjing sebelumnya?” tanya Ki Jarwo gamang. “Anjing..?” pemuda itu berpikir sejenak. “O iya, sebelum pulang ke kota, Surya sempat cerita pada saya, kalau ia menabrak seekor anjing tanpa sengaja, lalu membuang bangkainya ke sungai.” Jelaslah sudah. Dirinyalah yang telah membunuh Surya.
Langit serasa runtuh di atas kepalanya. Setelah pemuda itu pergi. Ki Jarwo mengambil sebilah golok yang terselip di sela dinding bilik dapurnya. Ia lari ke dalam hutan sambil berteriak sekuatnya. Makin ke dalam hutan. Goloknya menyabiti setiap pohon yang dilewatinya. Seraya mengutuk dirinya sendiri, Ki Jarwo menyurukan kepalanya ke dalam gerombolan ilalang. Ia menangis tersedu-sedu diliputi penyesalan yang tak terhingga. Ia sudah dapat memastikan, kalau pohon randupun akan segera mati. (PUSKA TANJUNG)
2 komentar:
: ky bayuh bukan main kehebatan ramalan anka mu aky sya terusteran tadik sy ragu kiriman angka 2dmu yaitu 06= sio 8 saya pasn anka itu 06x200 56x200 sio 8x7000 sya menam angkaya 12jt+sio 7jt total 19juta AKY eman hebat luar biasa aky sy punya nmr hp nya aky 082_315_999_679_.yg berminat jgn ragu-ragu untk daftra dan laksanakan syartya'minta bicara langsun aky bayuh gendeng dan bicara ke sopanan krn orng nyah baik
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Posting Komentar