Minggu, 29 April 2012

WANITA

Add caption

READ MORE - WANITA

wanita.




Add caption
Add caption
Add caption
Add caption

READ MORE - wanita.

Jumat, 13 April 2012

CALON ISTRI

CALON ISTRI

Hampir setiap hari disaat ada waktu senggang Baron selalu menghubungi ibunya lewat telephon. Menceritakan tentang Amalia kekasihnya dengan menggebu-gebu. Tentang kebaikannya, kecantikannya, dan keindahan budi pekertinya. Saat itu Baron selalu membayangkan wajah ibunya berseri-seri. Ia sudah cukup lama menanti Baron mengakhiri masa lajangnya yang panjang.

Mulanya Baron menganggap, soal perempuan adalah point terakhir setelah karier dan membahagiakan ibu. Juga tetek bengek persiapan masa depan seperti rumah, kendaraan dan sedikit tabungan. Tapi rupanya tidak ada satu orangpun di dunia ini yang mampu mengendalikan waktu. Hari merupakan monster ganas pemakan usia. Tak terasa kini Baron sudah menjadi lajang lapukan. Hingga kemudian ibunya mulai rewel karena khawatir.“Masa tidak ada seorang gadispun yang mau melirik Baron ibu yang ganteng begini.”
Ibunya mulai menyindir setiap kali Baron pulang.
“Baron, coba agresip sedikit kenapa. Jangan acuh begitu. Ingat usiamu sudah tidak muda lagi. Ibu kepengen banget melihat kamu berkeluarga dan bahagia.”

Sejak ibunya sering mengeluhkan usia Baron yang tak lagi muda, dan memintanya untuk segera menikah, Baron seperti dipacu untuk segera mendapatkan calon istri. Padahal pacarpun ia tidak punya. Sementara rutinitas kerja tidak memberinya banyak kesempatan untuk bersosialisasi. Di samping Baron tidak memiliki bakat untuk mendekati perempuan. Sejak itu ia mulai menyadari betapa sulitnya mencari calon istri. Sama sulitnya dengan mencari lapangan pekerjaan. Waktu terus berjalan dan Baron masih saja sendirian.

“Baron coba lihat, tidak ada satu gadispun yang tersisa untukmu,” cermin di kamarnya berkata sambil tersenyum sinis. “Massa buat kamu telah lewat. Sekarang kamu tidak lagi muda, kamu sudah menjadi om-om. Mana ada gadis yang mau dipersunting bujang lapuk.”
Baron semakin panik.

Akhirnya ia terpaksa membuang semua gengsi dan rasa malu. Ia perlu mediator. Baron mulai membisiki teman-teman sekantornya supaya mau membantunya mencarikan calon istri. Teman-temannya dengan senang hati menyambut gagasan Baron. Mereka mulai mempertemukan Baron dengan beberapa gadis. Tapi sayangnya dari sekian wanita yang ditawarkan temannya, tak ada satupun yang menarik minatnya.

“Gadis seperti apa sih yang kamu cari Baron?” salah satu temannya bertanya dengan sedikit kesal.
“Kalau usia sudah tidak muda lagi, jangan memasang kriteria terlalu tinggi dong,” temannya yang lain menyinggung.

Baron jadi malu sendiri. Bagai mana mungkin dia akan menikah dan bisa bahagia dengan gadis yang sama sekali tidak menawan hatinya. Hingga kemudian diambang rasa putus asa, Baron menemukan Amelia. Gadis belia berwajah manis yang ditemukannya tanpak sengaja di pasar swalayan. Saat itu adalah hari minggu yang membosankan. Seperti biasa dia selalu terpenjara dalam kesendirian. Semua tetangganya di komplek perumahan tempatnya tinggal sudah keluar meninggalkan rumah sejak tadi pagi untuk berlibur. Yang sudah berkeluarga pergi bersama anak istrinya, dan yang masih bujangan pergi dengan pacar-pacarnya. Jadi hanya Baronlah yang tertinggal sendiri. Dia tidak memiliki seseorang yang harus diajaknya bersenang-senang. Setelah usai membersihkan rumah dan mencuci mobil, Baron iseng jalan-jalan ke pasar swalayan. Sebetulnya ia tidak berniat untuk membeli apapun. Tidak ada yang dia butuhkan. Baron hanya ingin jalan-jalan untuk mencairkan kepenatan.

Di salah satu counter, tepatnya conter batik, Baron menemukan sepasang remaja yang tengah terlibat percakapan serius. Sang gadis kelihatannya penjaga counter, Baron dapat memastikannya setelah melihat seragam yang dikenakannya. Dan yang pria, sepertinya mereka pasangan kekasih. Tanpa sengaja Baron mendengar pertengkaran mereka.

“Pokoknya setelah ini, kita tidak perlu ketemu lagi. Kita putus,” pekik si pria diliputi kemarahan.
“Terserah apapun yang elo mau. Gue ngga perduli..”
Dan pemuda itupun berlalu dengan langkah lebar. Sang gadis tidak menghiraukannya. Ia mengambil buku bon dan mengorat-ngoret sesuatu di permukaannya.
“Mba kemeja batik ini berapa harganya?” Baron mendekati gadis itu sambil menenteng sebuah kemeja di tangannya. Sesaat gadis itu mengusap pipinya. Baron melihat permukaan buku yang dipegangnya basah. Dia menangis.
“Oh maaf,” gadis itu meraih kemeja di tangan Baron dan membantunya mencarikan bandrol harga di balik leher kemeja. “Ini dia, dua ratus ribu pak,” katanya seraya tersenyum basa-basi.

Seketika hati Baron tercekat. Ternyata dia gadis yang cukup cantik, katanya dalam hati. Awalnya Baron cuma iseng memilih-milih kemeja batik, tapi setelah melihat wajah sang pelayannya yang manis, akhirnya ia memutuskan untuk membelinya satu buah. Hingga kemudian dia pulang dan membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, wajah gadis manis itu tidak pernah lepas dari benaknya. Mungkin inilah yang disebut cinta pada pandangan pertama. Pikir Baron dalam hati.

Gagasan untuk mendapatkan gadis itu kian hari kian menggebu. Ia tidak berniat menceritakan pada teman-temannya kalau ia tengah jatuh cinta. Tapi setiap pulang kerja, Baron selalu menyempatkan waktu mampir ke pasar swalayan itu dan menemui gadis yang telah merebut hatinya di counter batik. Bahkan tak terasa dia sudah menghabiskan dana cukup besar untuk membeli lima kemeja batik yang sama sekali tidak ia butuhkan. Meski demikian pada akhirnya kerja kerasnya berbuah manis. Dia berhasil berkenalan dengan Amelia dan saling bertukar nomor handphon.. Lalu pada hari selanjutnya Baron sudah bisa mengajaknya makan berdua di restoran pastfood dan mengantarkannya pulang. Tak ayal lagi hati baron berbunga-bunga.

“Cowok yang dulu bertengkar dengan kamu di counter itu pacar kamu ya Mel?” tanya Baron suatu malam ketika mengantar Amelia pulang.
“Awalnya ya. Tapi sekarang tidak lagi.”
“Kenapa putus?” kejar Baron.
“Orangnya terlalu posesif, padahal sebetulnya dialah yang suka selingkuh.”
“Sekarang pacarmu siapa?”
Amelia menatap Baron heran. “Kan kamu yang jadi pacarku sekarang mas.”
“Siapa yang bilang aku mau jadi pacar kamu Mel,” goda Baron.
Amelia mendelik. “Terus maksud kamu hubungan kita ini apa mas?”
Baron tertawa. “Aku sebetulnya tidak mau pacaran Mel. Aku ingin kamu jadi istriku.”
Amelia memukuli bahu Baron manja.

Kian hari hubungan Baron dengan Amelia kian mesra saja. Tak terpungkiri Amelia telah membuat Baron amat tergila-gila. Baron ikhlas meski telah menghabiskan banyak uang untuk membelikan berbagai hadiah mahal buat Amelia. Baginya yang terpenting bisa membuat Amelia semakin mencintainya. Dan iapun tidak pernah lupa membawa berbagai buah tangan untuk keluarga Amelia setiap kali berkunjung ke rumahnya. Tentu saja ibu Amelia dapat menerima Baron dengan tangan terbuka. Hanya tinggal beberapa langkah lagi untuk bisa menikahi Amelia segera.

Baron yakin betul, Amalialah belahan jiwanya. Calon permaisurinya yang akan menyemarakan rumah kecilnya dengan anak-anak yang lahir dari rahimnya. Disamping desakan usia, ia tidak akan menunda terlalu lama untuk mewujudkan impiannya menikahi Amalia. Dengan penuh kesadaran Baron mulai menceritakan tentang latar belakang hidupnya. Tentang masa kecilnya yang serba sulit karena ditelantarkan ayahnya. Tentang ketabahan ibunya yang telah membesarkannya dan membiayai sekolahnya seorang diri. Juga tentang ayahnya yang tidak diketahui keberadaannya hingga kini.

“Jadi kalau sudah jadi istri mas, kamu jangan takut disakiti,” kata Baron pada Amelia. “Apapun yang terjadi, mas tidak akan menelantarkan anak istri. Karena mas tahu betul seperti apa penderitaan ibu setelah ditinggalkan ayah.”
“Pernahkah terbersit dipikiran mas untuk mencari dan menemui ayah mas sekarang?” tanya Amelia.
Baron menggeleng. “Tidak. Bagi mas dia sudah mati.”
Sejak kecil Baron memang sudah bersumpah untuk tidak mencari ayahnya, sekarang ataupun nanti. Ia hanya akan mengabdikan seluruh hidupnya untuk membahagiakan ibu.. Dan ketika ia menemukan Amelia, ia selalu berbagi rasa pada ibunya dengan menceritakan seluruh perjalanan asmaranya bersama Amalia. Ia tahu, ibunya akan sangat bahagia karena sebentar lagi akan memiliki seorang menantu yang sudah cukup lama ia tunggu.
“Bawalah segera calon istrimu ke sini, ibu sudah tidak sabar ingin mengenalnya,” kata ibunya di seberang telephon.
Lalu Baron bercerita pada Amelia tentang ketidak sabaran ibunya yang ingin segera mengenal calon menantu. Dan iapun berencana mengajak Amelia untuk menemui ibunya minggu depan.
“Ibu senang sekali setelah tahu kita akan datang, dia bilang akan memasak yang enak buat calon istriku.”
“Tapi mas harus minta ijin dulu ke bapak kalau mau ngajak saya,” ujar Amelia.
“Tentu saja, mas akan segera meminta ijin sama bapak kamu. Kalau bisa sekalian melamar kamu,” kata Baron penuh semangat.
Pada hari yang ditentukan, Baron datang ke rumah Amalia untuk berbicara pada ayahnya, kalau anak gadisnya akan dibawa untuk diperkenalkan pada ibunya. Baron duduk di kursi di ruang tamu rumah Amalia yang sempit. Ibu Amalia datang, menyuguhkan sirup dingin rasa leci buat Baron.
“Silahkan minum nak Baron,” ujar ibu Amalia, lalu kemudian menghilang ke belakang.

Baron memang belum pernah bertemu dengan ayah Amelia sebelumnya. Dan kini ia merasakan telapak tangannya berkeringat karena gugup. Ia takut ayah Amelia tidak merestui hubungannya. Siapa sih orang tua yang rela menikahkan anak gadisnya dengan bujang lapuk seperti dirinya. Namun ketika laki-laki setengah baya itu muncul dan duduk di hadapannya, Baron seperti dilanda de javu. Ia amat mengenal laki-laki itu sebelumnya. Tapi di mana? Benarkah ini ayah Amelia? Seketika Baron merasakan kepalanya pening. Mereka berdua berbicara kaku, tidak cukup lama Dan tidak cukup banyak yang mereka perbincangkan. hingga kemudian Baron pamit pulang.

“Kok mas lesu, bapak tidak ngasih ijin ya?” tanya Amelia curiga begitu mengantar Baron ke depan. “Atau bapak tidak menyetujui hubungan kita?”
Baron berpaling pada Amelia yang tengah mengawasinya diliputi berbagai dugaan. “Percayalah tidak ada apa-apa kok.”
“Lalu kenapa setelah bertemu dengan bapak mas tampak kehilangan semangat?” tanya Amelia lagi. “Bapak mengatakan sesuatu yang menyakiti hati mas ya?”
“Tidak. Sama sekali tidak Amelia. Mas hanya merasa ngga enak badan.”
Tapi sebelum masuk ke dalam mobil, Baron berpaling pada Amelia dan menggenggam kedua tangannya erat. “Maafkan aku Amelia. Mungkin besok kita ngga jadi nemuin ibu, karena mas dapat tugas mendadak dari kantor.”

Padahal keesokan harinya, subuh-subuh sekali, Baron berangkat seorang diri. Ia tahu, ibunya sudah mempersiapkan banyak hal untuk menyambut calon istri putra kesayangannya. Dan ketika mendapatkan kenyataan kalau Baron hanya pulang seorang diri, ibunya sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan hati.
“Kamu ini bagai mana sih Baron, lihat ibu sudah masak banyak. Sudah mempersiapkan kamar yang nyaman buat Amelia. Tapi kok kamu…….”
Baron merengkuh ibunya dan menjatuhkan diri keatas pangkuannya. “Amelia adikku ibu…. Dia anak bapak….”
Baron menangis terisak-isak. Hatinya terasa ngilu. (PUSKA TANJUNG)

READ MORE - CALON ISTRI

BIANGLALA SIRCUS

PEMBUKAAN

Musik berdentang denting mengikuti langkah dua badut yang tengah mempertontonkan aksi kocaknya. Lampu sorot terus mengikuti gerak langkah keduanya. Suara tawa dan tepuk tangan penonton sesekali berderai setiap kedua badut itu melakukan tindakan bodoh yang lucu. Badut yang mengenakan baju polkadot merah dengan rambut kribo warna-warni berperan sebagai anak bodoh yang nakal. Sedang badut yang mengenakan kostum garis-garis besar hitam putih dengan topi caplin berperan sebagai anak yang sok pinter dan sombong.

Pertama si badut yang bertopi Caplin memanasi si Kribo, mempertontonkan sebuah tarian, dengan step-step terampil, mengikuti setiap dentingan musik. Si Kribo mengamati sambil sesekali mencibir. Dengan gaya bahasa pantomime, sirambut kribo menjentikan jemarinya, mengatakan dengan sombong bahwa gerakan semacam itu baginya amatlah mudah. Si topi Caplin menantangnya, meminta si Kribo membuktikan omongannya. Si Kribo tertawa setuju, sambil berjalan tersandung-sandung kesana kemari seolah tengah mempromosikan diri, bahwa ia lebih hebat dari si Caplin. Si Caplin tetap tidak yakin kalau si Kribo bakal mampu menari sepertinya. Tapi si Kribo bersikeras meyakinkan si Caplin bahwa ia bisa melakukannya lebih baik dari pada si Caplin. Kemudian si Kribo berdiri tegak penuh kepercayaan diri, seraya berulang-ulang mengempiskan perutnya. Ia mulai mempersiapkan diri. Musik dimainkan dengan irama yang sama dengan tarian si Caplin tadi. Tapi tiba-tiba si Kribo mengangkat tangan meminta musik dihentikan sejenak. Lalu ia mengambil sehelai sapu tangan dari saku bajunya yang besar. Ternyata ia harus mengelap ingusnya dulu. Terdengar bunyi broot! Ketika ia memijit hidungnya berulang-ulang. Para penonton tertawa ramai. Si rambut kribo memasukan kembali sapu tangannya ke dalam saku bajunya yang besar. Lalu ia mulai mempersiapkan dirinya lagi. Musik kembali dimainkan dan ia mulai melakukan beberapa gerakan. Namun kemudian ia kembali meminta musik dihentikan.

Si badut Caplin mencibir tak sabar. Ia menuduh si Kribo terlalu banyak alasan padahal tidak mampu menari sebagus dirinya. Si Kribo menyangkal sambil menepuk-nepuk perutnya yang buncit. Seraya menyeringai si Kribo menunggingkan pantatnya. Dan Broooot! Bunyi gas keluar. Seluruh penonton yang ada di tenda sirkus itu tertawa berderai. Si Caplin memijit hidungnya yang panjang sambil melompat-lompat jijik. Sementara si kribo tertawa terpingkal-pingkal sampai bergulingan di lantai. Kemudian dung! Si Caplin memukul kepalanya hingga membuat mata si Kribo terbelalak.

Si Caplin dengan bahasa pantomime kembali meminta si Kribo untuk segera membuktikan kemampuannya. Si Kribo dengan pongah kembali berdiri. Dadanya di busungkan, mempersiapkan dirinya lagi. Lalu ia meminta musik kembali dimainkan. Hingga kemudian derai tawa penonton riuh melihat si Kribo mempertontonkan gerak tari letoi yang amat lucu. Si Caplin tidak terima. Bukan tarian buruk seperti itu yang ia minta untuk dipertunjukan. Tapi si Kribo tidak perduli. Ia terus menari dengan gerakan seperti itu sambil tertawa. Si Caplin mengikuti kesana kemari berusaha memperingati si Kribo. Tapi si Kribo memang tak bisa dihentikan, ia terlalu asyik dengan tariannya. Akhirnya si Caplin menghalangi langkah si Kribo dengan kakinya. Si Kribo tersandung. Badannya terhuyung. Dreng….dreng… dreng… Musik mengikuti gerak huyungan si Kribo. Lalu berhenti bersamaan dengan huyungan si Kribo yang berhenti pula. Si Kribo urung terjatuh dan ia tertawa senang. Tapi kemudian dreng….dreng….dreng… Tanpa alasan si kribo terhuyung lagi dan berhenti, lalu si kribo kembali tertawa senang karena pada akhirnya ia tetap tidak jadi tersungkur. Lalu terhuyung lagi mengikuti bunyi musik, tapi kali ini tubuh si Kribo benar-benar terjatuh menimpa tubuh si Caplin. Si Kribo senang tengkurap di atas tubuh si Caplin sambil mengepak-ngepakan tangannya. Sementara si Caplin di bawah kelojotan. Tangannya berusaha untuk merenggut rambut si Kribo, tapi selalu gagal. Akhirnya. “Plak! Si Caplin menendang. Si Kribo melotot dan segera bangkit seraya memegangi selangkangannya. Dan iapun berlari terbungkuk-bungkuk menahan sakit ke belakang. Para penonton tertawa sambil bertepuk tangan. Si Caplin yang masih tertinggal di tengah arena memberi hormat penutupan pada penonton. Lalu dengan wajah kocak berlari ke belakang mengejar si Kribo.

“Itulah dia pertunjukan dua badut kami yang kocak dan menghibur. Mudah-mudahan bisa sedikit mengendurkan saraf-saraf yang tegang,” terdengar suara pembawa acara dari belakang tirai. “Mereka adalah badut- badut kami yang terbaik. Kami bangga memiliki seniman hebat seperti mereka. Dan kini kita akan lanjut pada segmen yang menegangkan. Yaitu segmen ketangkasan memanah.”

Bunyi musik drum berdebam riuh.
“Kita sambut dengan meriah, si ganteng Febrian dan si cantik Utari.”
Para penonton di tenda sirkus itu bertepuk tangan riuh. Seorang pemuda tampan yang mengenakan kostum Robin hood dan menenteng busur besar dengan selusin anak panah di punggungnya muncul menggandeng gadis cantik yang mengenakan kostum yang amat seksi. Gadis itu mengenakan bra berbulu hitam dengan cutbray hitam yang ketat, sehingga warna kulitnya yang putih bersih terlihat semakin kontras. Rambutnya yang hitam bergelombang diikat ke atas, seperti gaya rambut Jinni, hantu gadis nakal di drama komedi situasi di salah satu statsiun tv. Kedua orang itu merentangkan tangannya, membungkuk memberi hormat ke berbagai sudut.

Empat orang laki-laki keluar dari belakang tirai, menggotong sebuah papan bundar yang besar dan beberapa peralatan yang lainnya. Lalu dengan cekatan mereka memasang peralatan itu di tengah arena. Si gadis kembali membungkuk seraya merentangkan tangannya memberi hormat kepada penonton. Dengan senyum lebar dan penuh keyakinan, gadis itu menempelkan tubuhnya di bundaran papan yang sudah berdiri tegak. Keempat pria mengikat kedua kaki dan tangannya di lobang-lobang papan bundar yang sudah disediakan. Sesaat si gadis menarik napas panjang. Kemudian musik drum berbunyi riuh, bersamaan dengan berputarnya tubuh si gadis di dinding papan bundar. Makin lama putaran itu makin cepat, bersamaan dengan bunyi drum yang kian cepat pula. Hingga tubuh si gadis yang ada di permukaan papan itu hanya tampak bayangan hitam saja. Para penonton bertepuk tangan riuh. Hingga kemudian bunyi drum berhenti bersamaan dengan berhentinya putaran papan bulat itu. Si gadis yang terikat di papan kini terentang menatap ke depan sambil tersenyum. Penonton kembali bertepuk tangan memberikan applause. Suasana tiba-tiba sepi diliputi ketegangan, ketika pemuda tampan itu mulai mempersiapkan busurnya , lalu mengarahkan panahnya pada si gadis. Semua penonton menahan nafas ngeri. Beberapa penonton wanita tidak tahan, dan memalingkan wajahnya sambil menutupi mata anak-anaknya.

Tak ada musik yang mengiringi pertunjukan ini. Pemuda tampan itu berkonsentrasi penuh. Matanya menyipit, lalu, jap! Panah melesat dan menancap hanya dua senti di atas kepala si gadis. Penonton bertepuk tangan, seraya mengendurkan urat saraf sesaat. Keadaan kembali menyepi, pemuda tampan itu kembali memasang sebilah panah di busurnya. Lalu bersiap lagi. Kali ini sasarannya adalah sebelah kiri kepala si gadis. Semua penonton menatap diliputi ketegangan. Dan, jap! Panah kembali melesat, si gadis tersenyum lebar. Anak panah itu menancap pas di samping cuping kupingnya. Ini tontonan yang benar-benar menguras ketegangan. Hampir sepuluh panah sudah menancap mengitari tubuh si gadis. Seluruh penonton bertepuk tangan riuh penuh kekaguman pada ketangkasan si pemanah dan keberanian si gadis menantang maut. Kini tinggal ada dua anak panah lagi yang tersisa di punggung si pemuda. Dan ia kembali merentangkan busurnya. Sekarang sasarannya sebelah kiri bawah ketiak si gadis. Para penonton kembali menahan nafas. Sepasang mata mengintip di balik tirai belakang. Ia tampak komat-kamit membaca doa. Si pemuda kembali melesatkan anak panahnya. Bersamaan dengan itu di luar penglihatan mata telanjang manusia, sebuah bayangan hitam ikut melesat dari balik tirai belakang, ikut bersama dengan lesatan anak panah. Dan, jap! Mata si gadis terbelalak. Tiba-tiba para penonton berteriak histeri. Anak panah itu melesat dan menancap pas di dada kiri si gadis. Darah menetes ke bawah. Seketika keadaan di dalam tenda itu menjadi hiruk pikuk. Sang pemanah terpaku setengah tak percaya. Beberapa pria membuka ikatan tangan dan kaki si gadis dengan tergesa. Lalu menggotong tubuh molek itu ke balik tirai. Sebilah anak panah masih menancap di dadanya, dan ceceran darah segar tertinggal di lantai arena. Para penonton bubar. Sang pemanah jitu tampak sock. Ia terkulai di lantai dengan lutut gemetaran. Dua badut kocak segera menggandengnya ke belakang.

“Tidak boleh ada yang mencabut panahnya. Biar dokter yang melakukannya. Sekarang kita harus segera melarikannya ke rumah sakit,” kata pria setengah baya dengan rambut panjang diikat ke belakang. Mereka memasukan gadis itu ke dalam mobil ambulan milik sirkus. Dua badut kocak, dan pemuda pemanah jitu melompat ikut masuk ke dalam. Sementara seorang pria berpenampilan gotik hanya berdiri terpaku, matanya menatap dingin. Mobil ambulan melaju cepat dengan sirenenya yang meraung-raung membelah para penonton yang menyemut keluar dari tenda sircus. Wajah-wajah mereka masih diliputi kengerian sambil saling menceritakan tentang kejadian tragis tadi.




READ MORE - BIANGLALA SIRCUS

LUDI SANG MEDIUM CILIK

PEMBUKAAN

Malam itu malam akhir pekan yang mencekam. Hujan turun membadai, airnya seperti ditumpahkan dari langit. Kilat berulang-ulang menyambar, membelah angkasa kelam. Diikuti bunyi gelegar geledek yang menggetarkan bumi. Tiupan angin menggila, mengibaskan air hujan, membuat pepohonan merunduk, sebagian dahannya berderak patah. Seluruh penerangan listrik tiba-tiba padam. Membuat wajah kota tertelan gulita.

Di jalanan yang sunyi dan kelam. Di tengah hujan badai yang mendera. Sebuah mobil sedan berjalan merayap. Lampunya tampak redup dihadang lebatnya guyuran air hujan. Seorang pria yang duduk di balik kemudi tampak sangat hati-hati mengendalikan setir. Beberapa kali mobil terguncang, karena melewati jalanan berlobang yang digenangi air. Seorang pria setengah baya yang mengenakan mantel biru dengan shal wol kuning meliliti lehernya duduk di samping sopir sambil melipatkan kedua tangan di dadanya. Dari radio mobil terdengar suara reporter mengabarkan berita tentang cuaca yang kian memburuk.

“Tadi pagi saya sudah mendengar berita perkiraan cuaca di tivi, bahwa akan ada badai malam ini. Tapi saya tidak mengira akan sehebat ini,” kata sang sopir sambil terus mengawasi permukaan jalan didepannya. Air hujan lebat menampar-nampar kaca mobil, memburamkan jarak pandang. Wiper yang bergerak-gerak mengibas air dipermukaan kaca, sama sekali tak banyak berpengaruh.Lelaki bermantel biru hanya mendesah.

Sementara istrinya yang duduk di jok belakang, sedari tadi tidak berhenti mengomel. Seolah badai hujan yang menggila sama sekali tidak mempengaruhinya. Anak gadis kecilnya yang berusia sembilan tahun tak henti-hentinya merengek sambil mencubiti tangan ibunya.
“Mami sih, Nola pengen banget tahu baju balon itu. Temen-temen Nola sudah pada punya baju yang kaya begitu. Pokoknya Nola pengen dibeliin baju yang kaya begitu, titik.”
“Sudah jangan nyubitin mami terus, sakit tahu!” ibunya menghardik. “Kamu pikir cuma kamu yang sebel hah? Mami juga sebel. Mami tadi belum selesai belanja bulanan. Masih banyak yang harus mami beli. Bapak kamu sih, sedari tadi ngedumel terus ngajak pulang. Kalau belanja bareng laki-laki begitu, rese.”
“Sudahlah mami, maafin papi. Nanti kapan-kapan kita ke mall lagi belanja,” kata laki-laki bermantel biru.
“Kapan-kapan kapan? Minggu depan?”
“boleh. Minggu depan ngga jadi masalah.”
“Tapi kan mami belum ke salon. Seharusnya hari ini mami cuci rambut, gunting rambut, cuci muka. Nih tampang udah ngga karuan.”
“Kata siapa? Mami masih tetap cantik kok,” rayu suaminya sabar.
Wanita itu cemberut

Aditya, pemuda kecil berusia dua belas tahunan yang duduk di samping adik perempuannya, sedari tadi hanya terdiam. Kelihatannya dia amat tertekan mendengar ocehan ibunya dan rengekan adik perempuannya. Matanya tak henti mengawasi ke luar jendela mobil. Tatapannya di liputi kengerian. Ia bergidik, melihat pepohonan yang meliuk-liuk dihempas angin. Suaranya menderu-deru seperti lenguhan monster kelaparan.

Mobil itu terus merayap membelah hujan.
“mami juga tadi belum sempat beli baju,” wanita itu kembali menggerutu.
“Bukannya tadi mami udah beli?” tanya suaminya.
“Baju atasannya doang, belum beli bawahannya. Besokkan ada acara arisan bulanan temen-temen mami, Masa mami ngga pake baju baru.”
Lelaki bermantel biru menghela nafas kesal. “Masa setiap arisan harus pake baju baru sih mam,” keluhnya.
“Ia dong, masa istrinya pak Permadi, pemilik pabrik kopi, orang terkaya di kota ini ngga mampu beli pakaian sebulan sekali. Yang malu siapa? Papi kan?”
“Iya maafin papi, habis tadi ada telephon dari pabrik. Ada masalah serius dengan ketel besar, jadi malam ini juga papi harus segera ke sana.”

Tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah besar. Seorang satpam yang mengenakan jas hujan keluar dari gardu, dan berlari di bawah guyuran hujan yang lebat. Dengan tergesa mendorong pintu pagar besi hingga terbuka lebar. Mobil melaju masuk, dan satpam bermantel hujan kembali menutup pintu gerbang. Di pelataran rumah mobil berhenti. Sang nyonya rumah yang masih saja menggerutu keluar diikuti anak gadisnya. Ia berteriak-teriak memanggil para pembantunya. Dua orang wanita kampung datang tergopoh-gopoh.

“Ambil semua belanjaan di mobil,” perintah wanita itu sambil terus masuk ke dalam dengan dada mendongak ke depan.
Sopir menurunkan semua bungkusan belanjaan yang memenuhi bagasi.
Aditya, pemuda kecil yang sedari tadi hanya terdiam, sebelum turun dari mobil berpaling pada ayahnya, “Ayah akan kembali ke pabrik?” tanyanya.
“Iya nak. Salah satu ketel besar kita di pabrik bermasalah.”
Anak itu berdiri menatap ayahnya khawatir. “Hati-hati di jalan ayah, badai hujannya besar sekali.”
“Makasih nak, sudah mengkhawatirkan ayah.”

Aditya masuk kedalam rumah dengan kepala tertunduk. Sesekali ia berpaling pada ayahnya. Dia amat khawatir dengan badai yang terjadi di luar sana. Sungguh, keluar rumah dalam cuaca seburuk ini amat tidak aman.

Setelah semua belanjaan selesai dikeluarkan, dan dua pembantu sudah mengangkutinya ke dalam, sopir segera menutup bagasi. Lalu ia kembali masuk ke dalam mobil. Sejenak ia berpaling pada laki-laki bermantel biru yang masih duduk di sampingnya, “Kita kembali ke pabrik sekarang pak?” tanyanya.
“Ia. Anak-anak pasti sudah menunggu di sana. Aku harus tahu sekarang juga, apanya sih yang bermasalah dengan ketel itu? Karena besok ketel itu harus normal kembali.”
Pak sopir menstater mobilnya. Satpam yang mengenakan jas hujan, begitu melihat mobil melaju akan keluar kembali, dengan cepat berlari keluar gardu dan membukakan pintu gerbang . Mobil itu kembali merayap keluar membelah hujan.

“Itulah wanita. Sangat memuakkan,” keluh lelaki bermantel biru setelah agak jauh meninggalkan rumah.
Sopirnya hanya terdiam. Ini keluhan pak Permadi yang keseratus kalinya mengenai istrinya.
“Dulu ibunya Aditya, tidak seperti ini. Istriku yang sekarang ini sangat luar biasa. Banyak keinginan dan selalu menuntut.”
Si sopir tidak memberikan komentar apapun. Karena dia mengerti tuannya tidak membutuhkan dirinya berkomentar. Ia hanya sedang menumpahkan kekesalan.
Di luar badai hujan semakin menggila. Si sopir berkosentrasi mengawasi punggung jalan yang akan mereka lalui. Beberapa kali sambaran kilat menyilaukan mata, diikuti bunyi gelegar yang menggetarkan dada. Tiupan angin kian menggila membuat guyuran air hujan dan dahan-dahan pepohonan meliuk-liuk.


Duar!
Tiba-tiba suara kilat menggelegar keras, menyambar sebuah pohon kelapa besar yang berdiri di pinggir jalan di depan mobil mereka. Pijaran api merambat cepat dari pangkal pohon.“Awas!!” teriak lelaki bermantel biru dengan wajah pucat. Sopirnya ternganga panik. Dan kreeek..Bum!! Pohon itu jatuh membal, batangnya menimpa badan mobil hingga remuk. Dua orang yang berada di dalamnya tak sempat menyelamatkan diri. Percikan api keluar dari tubuh mobil bersamaan dengan asap yang mengepul. Secara perlahan lampu mobilpun padam. Darah merah mengalir dari bawah bangkai mobil terbawa air hujan.

Setelah amukan badai hujan berhenti. Dan alam mulai tenang. Di kekelaman malam yang menghitam. Di keheningan alam yang mencekam. Di antara bunyi tetesan air yang jatuh dari ujung dedaunan. Dua roh keluar dari bangkai mobil yang terjepit pohon kelapa besar. Keduanya melayang secara perlahan ke udara. Terus melayang ke atas, seperti dua buah balon gas. Tiba-tiba seberkas cahaya putih yang muncul dari langit menyedot keduanya ke dalam pusarannya. Setelah kedua arwah itu tertelan, cahaya putih itu membias dan menghilang. Kedua arwah itu telah dibawa ke alam lain. Yaitu alam kegaiban Tuhan.






READ MORE - LUDI SANG MEDIUM CILIK
 

Puska Tanjung Blog © 2012 | designed by Me