Jumat, 13 April 2012

BIANGLALA SIRCUS

PEMBUKAAN

Musik berdentang denting mengikuti langkah dua badut yang tengah mempertontonkan aksi kocaknya. Lampu sorot terus mengikuti gerak langkah keduanya. Suara tawa dan tepuk tangan penonton sesekali berderai setiap kedua badut itu melakukan tindakan bodoh yang lucu. Badut yang mengenakan baju polkadot merah dengan rambut kribo warna-warni berperan sebagai anak bodoh yang nakal. Sedang badut yang mengenakan kostum garis-garis besar hitam putih dengan topi caplin berperan sebagai anak yang sok pinter dan sombong.

Pertama si badut yang bertopi Caplin memanasi si Kribo, mempertontonkan sebuah tarian, dengan step-step terampil, mengikuti setiap dentingan musik. Si Kribo mengamati sambil sesekali mencibir. Dengan gaya bahasa pantomime, sirambut kribo menjentikan jemarinya, mengatakan dengan sombong bahwa gerakan semacam itu baginya amatlah mudah. Si topi Caplin menantangnya, meminta si Kribo membuktikan omongannya. Si Kribo tertawa setuju, sambil berjalan tersandung-sandung kesana kemari seolah tengah mempromosikan diri, bahwa ia lebih hebat dari si Caplin. Si Caplin tetap tidak yakin kalau si Kribo bakal mampu menari sepertinya. Tapi si Kribo bersikeras meyakinkan si Caplin bahwa ia bisa melakukannya lebih baik dari pada si Caplin. Kemudian si Kribo berdiri tegak penuh kepercayaan diri, seraya berulang-ulang mengempiskan perutnya. Ia mulai mempersiapkan diri. Musik dimainkan dengan irama yang sama dengan tarian si Caplin tadi. Tapi tiba-tiba si Kribo mengangkat tangan meminta musik dihentikan sejenak. Lalu ia mengambil sehelai sapu tangan dari saku bajunya yang besar. Ternyata ia harus mengelap ingusnya dulu. Terdengar bunyi broot! Ketika ia memijit hidungnya berulang-ulang. Para penonton tertawa ramai. Si rambut kribo memasukan kembali sapu tangannya ke dalam saku bajunya yang besar. Lalu ia mulai mempersiapkan dirinya lagi. Musik kembali dimainkan dan ia mulai melakukan beberapa gerakan. Namun kemudian ia kembali meminta musik dihentikan.

Si badut Caplin mencibir tak sabar. Ia menuduh si Kribo terlalu banyak alasan padahal tidak mampu menari sebagus dirinya. Si Kribo menyangkal sambil menepuk-nepuk perutnya yang buncit. Seraya menyeringai si Kribo menunggingkan pantatnya. Dan Broooot! Bunyi gas keluar. Seluruh penonton yang ada di tenda sirkus itu tertawa berderai. Si Caplin memijit hidungnya yang panjang sambil melompat-lompat jijik. Sementara si kribo tertawa terpingkal-pingkal sampai bergulingan di lantai. Kemudian dung! Si Caplin memukul kepalanya hingga membuat mata si Kribo terbelalak.

Si Caplin dengan bahasa pantomime kembali meminta si Kribo untuk segera membuktikan kemampuannya. Si Kribo dengan pongah kembali berdiri. Dadanya di busungkan, mempersiapkan dirinya lagi. Lalu ia meminta musik kembali dimainkan. Hingga kemudian derai tawa penonton riuh melihat si Kribo mempertontonkan gerak tari letoi yang amat lucu. Si Caplin tidak terima. Bukan tarian buruk seperti itu yang ia minta untuk dipertunjukan. Tapi si Kribo tidak perduli. Ia terus menari dengan gerakan seperti itu sambil tertawa. Si Caplin mengikuti kesana kemari berusaha memperingati si Kribo. Tapi si Kribo memang tak bisa dihentikan, ia terlalu asyik dengan tariannya. Akhirnya si Caplin menghalangi langkah si Kribo dengan kakinya. Si Kribo tersandung. Badannya terhuyung. Dreng….dreng… dreng… Musik mengikuti gerak huyungan si Kribo. Lalu berhenti bersamaan dengan huyungan si Kribo yang berhenti pula. Si Kribo urung terjatuh dan ia tertawa senang. Tapi kemudian dreng….dreng….dreng… Tanpa alasan si kribo terhuyung lagi dan berhenti, lalu si kribo kembali tertawa senang karena pada akhirnya ia tetap tidak jadi tersungkur. Lalu terhuyung lagi mengikuti bunyi musik, tapi kali ini tubuh si Kribo benar-benar terjatuh menimpa tubuh si Caplin. Si Kribo senang tengkurap di atas tubuh si Caplin sambil mengepak-ngepakan tangannya. Sementara si Caplin di bawah kelojotan. Tangannya berusaha untuk merenggut rambut si Kribo, tapi selalu gagal. Akhirnya. “Plak! Si Caplin menendang. Si Kribo melotot dan segera bangkit seraya memegangi selangkangannya. Dan iapun berlari terbungkuk-bungkuk menahan sakit ke belakang. Para penonton tertawa sambil bertepuk tangan. Si Caplin yang masih tertinggal di tengah arena memberi hormat penutupan pada penonton. Lalu dengan wajah kocak berlari ke belakang mengejar si Kribo.

“Itulah dia pertunjukan dua badut kami yang kocak dan menghibur. Mudah-mudahan bisa sedikit mengendurkan saraf-saraf yang tegang,” terdengar suara pembawa acara dari belakang tirai. “Mereka adalah badut- badut kami yang terbaik. Kami bangga memiliki seniman hebat seperti mereka. Dan kini kita akan lanjut pada segmen yang menegangkan. Yaitu segmen ketangkasan memanah.”

Bunyi musik drum berdebam riuh.
“Kita sambut dengan meriah, si ganteng Febrian dan si cantik Utari.”
Para penonton di tenda sirkus itu bertepuk tangan riuh. Seorang pemuda tampan yang mengenakan kostum Robin hood dan menenteng busur besar dengan selusin anak panah di punggungnya muncul menggandeng gadis cantik yang mengenakan kostum yang amat seksi. Gadis itu mengenakan bra berbulu hitam dengan cutbray hitam yang ketat, sehingga warna kulitnya yang putih bersih terlihat semakin kontras. Rambutnya yang hitam bergelombang diikat ke atas, seperti gaya rambut Jinni, hantu gadis nakal di drama komedi situasi di salah satu statsiun tv. Kedua orang itu merentangkan tangannya, membungkuk memberi hormat ke berbagai sudut.

Empat orang laki-laki keluar dari belakang tirai, menggotong sebuah papan bundar yang besar dan beberapa peralatan yang lainnya. Lalu dengan cekatan mereka memasang peralatan itu di tengah arena. Si gadis kembali membungkuk seraya merentangkan tangannya memberi hormat kepada penonton. Dengan senyum lebar dan penuh keyakinan, gadis itu menempelkan tubuhnya di bundaran papan yang sudah berdiri tegak. Keempat pria mengikat kedua kaki dan tangannya di lobang-lobang papan bundar yang sudah disediakan. Sesaat si gadis menarik napas panjang. Kemudian musik drum berbunyi riuh, bersamaan dengan berputarnya tubuh si gadis di dinding papan bundar. Makin lama putaran itu makin cepat, bersamaan dengan bunyi drum yang kian cepat pula. Hingga tubuh si gadis yang ada di permukaan papan itu hanya tampak bayangan hitam saja. Para penonton bertepuk tangan riuh. Hingga kemudian bunyi drum berhenti bersamaan dengan berhentinya putaran papan bulat itu. Si gadis yang terikat di papan kini terentang menatap ke depan sambil tersenyum. Penonton kembali bertepuk tangan memberikan applause. Suasana tiba-tiba sepi diliputi ketegangan, ketika pemuda tampan itu mulai mempersiapkan busurnya , lalu mengarahkan panahnya pada si gadis. Semua penonton menahan nafas ngeri. Beberapa penonton wanita tidak tahan, dan memalingkan wajahnya sambil menutupi mata anak-anaknya.

Tak ada musik yang mengiringi pertunjukan ini. Pemuda tampan itu berkonsentrasi penuh. Matanya menyipit, lalu, jap! Panah melesat dan menancap hanya dua senti di atas kepala si gadis. Penonton bertepuk tangan, seraya mengendurkan urat saraf sesaat. Keadaan kembali menyepi, pemuda tampan itu kembali memasang sebilah panah di busurnya. Lalu bersiap lagi. Kali ini sasarannya adalah sebelah kiri kepala si gadis. Semua penonton menatap diliputi ketegangan. Dan, jap! Panah kembali melesat, si gadis tersenyum lebar. Anak panah itu menancap pas di samping cuping kupingnya. Ini tontonan yang benar-benar menguras ketegangan. Hampir sepuluh panah sudah menancap mengitari tubuh si gadis. Seluruh penonton bertepuk tangan riuh penuh kekaguman pada ketangkasan si pemanah dan keberanian si gadis menantang maut. Kini tinggal ada dua anak panah lagi yang tersisa di punggung si pemuda. Dan ia kembali merentangkan busurnya. Sekarang sasarannya sebelah kiri bawah ketiak si gadis. Para penonton kembali menahan nafas. Sepasang mata mengintip di balik tirai belakang. Ia tampak komat-kamit membaca doa. Si pemuda kembali melesatkan anak panahnya. Bersamaan dengan itu di luar penglihatan mata telanjang manusia, sebuah bayangan hitam ikut melesat dari balik tirai belakang, ikut bersama dengan lesatan anak panah. Dan, jap! Mata si gadis terbelalak. Tiba-tiba para penonton berteriak histeri. Anak panah itu melesat dan menancap pas di dada kiri si gadis. Darah menetes ke bawah. Seketika keadaan di dalam tenda itu menjadi hiruk pikuk. Sang pemanah terpaku setengah tak percaya. Beberapa pria membuka ikatan tangan dan kaki si gadis dengan tergesa. Lalu menggotong tubuh molek itu ke balik tirai. Sebilah anak panah masih menancap di dadanya, dan ceceran darah segar tertinggal di lantai arena. Para penonton bubar. Sang pemanah jitu tampak sock. Ia terkulai di lantai dengan lutut gemetaran. Dua badut kocak segera menggandengnya ke belakang.

“Tidak boleh ada yang mencabut panahnya. Biar dokter yang melakukannya. Sekarang kita harus segera melarikannya ke rumah sakit,” kata pria setengah baya dengan rambut panjang diikat ke belakang. Mereka memasukan gadis itu ke dalam mobil ambulan milik sirkus. Dua badut kocak, dan pemuda pemanah jitu melompat ikut masuk ke dalam. Sementara seorang pria berpenampilan gotik hanya berdiri terpaku, matanya menatap dingin. Mobil ambulan melaju cepat dengan sirenenya yang meraung-raung membelah para penonton yang menyemut keluar dari tenda sircus. Wajah-wajah mereka masih diliputi kengerian sambil saling menceritakan tentang kejadian tragis tadi.




0 komentar:

Posting Komentar

 

Puska Tanjung Blog © 2012 | designed by Me