Jumat, 13 April 2012

LUDI SANG MEDIUM CILIK

PEMBUKAAN

Malam itu malam akhir pekan yang mencekam. Hujan turun membadai, airnya seperti ditumpahkan dari langit. Kilat berulang-ulang menyambar, membelah angkasa kelam. Diikuti bunyi gelegar geledek yang menggetarkan bumi. Tiupan angin menggila, mengibaskan air hujan, membuat pepohonan merunduk, sebagian dahannya berderak patah. Seluruh penerangan listrik tiba-tiba padam. Membuat wajah kota tertelan gulita.

Di jalanan yang sunyi dan kelam. Di tengah hujan badai yang mendera. Sebuah mobil sedan berjalan merayap. Lampunya tampak redup dihadang lebatnya guyuran air hujan. Seorang pria yang duduk di balik kemudi tampak sangat hati-hati mengendalikan setir. Beberapa kali mobil terguncang, karena melewati jalanan berlobang yang digenangi air. Seorang pria setengah baya yang mengenakan mantel biru dengan shal wol kuning meliliti lehernya duduk di samping sopir sambil melipatkan kedua tangan di dadanya. Dari radio mobil terdengar suara reporter mengabarkan berita tentang cuaca yang kian memburuk.

“Tadi pagi saya sudah mendengar berita perkiraan cuaca di tivi, bahwa akan ada badai malam ini. Tapi saya tidak mengira akan sehebat ini,” kata sang sopir sambil terus mengawasi permukaan jalan didepannya. Air hujan lebat menampar-nampar kaca mobil, memburamkan jarak pandang. Wiper yang bergerak-gerak mengibas air dipermukaan kaca, sama sekali tak banyak berpengaruh.Lelaki bermantel biru hanya mendesah.

Sementara istrinya yang duduk di jok belakang, sedari tadi tidak berhenti mengomel. Seolah badai hujan yang menggila sama sekali tidak mempengaruhinya. Anak gadis kecilnya yang berusia sembilan tahun tak henti-hentinya merengek sambil mencubiti tangan ibunya.
“Mami sih, Nola pengen banget tahu baju balon itu. Temen-temen Nola sudah pada punya baju yang kaya begitu. Pokoknya Nola pengen dibeliin baju yang kaya begitu, titik.”
“Sudah jangan nyubitin mami terus, sakit tahu!” ibunya menghardik. “Kamu pikir cuma kamu yang sebel hah? Mami juga sebel. Mami tadi belum selesai belanja bulanan. Masih banyak yang harus mami beli. Bapak kamu sih, sedari tadi ngedumel terus ngajak pulang. Kalau belanja bareng laki-laki begitu, rese.”
“Sudahlah mami, maafin papi. Nanti kapan-kapan kita ke mall lagi belanja,” kata laki-laki bermantel biru.
“Kapan-kapan kapan? Minggu depan?”
“boleh. Minggu depan ngga jadi masalah.”
“Tapi kan mami belum ke salon. Seharusnya hari ini mami cuci rambut, gunting rambut, cuci muka. Nih tampang udah ngga karuan.”
“Kata siapa? Mami masih tetap cantik kok,” rayu suaminya sabar.
Wanita itu cemberut

Aditya, pemuda kecil berusia dua belas tahunan yang duduk di samping adik perempuannya, sedari tadi hanya terdiam. Kelihatannya dia amat tertekan mendengar ocehan ibunya dan rengekan adik perempuannya. Matanya tak henti mengawasi ke luar jendela mobil. Tatapannya di liputi kengerian. Ia bergidik, melihat pepohonan yang meliuk-liuk dihempas angin. Suaranya menderu-deru seperti lenguhan monster kelaparan.

Mobil itu terus merayap membelah hujan.
“mami juga tadi belum sempat beli baju,” wanita itu kembali menggerutu.
“Bukannya tadi mami udah beli?” tanya suaminya.
“Baju atasannya doang, belum beli bawahannya. Besokkan ada acara arisan bulanan temen-temen mami, Masa mami ngga pake baju baru.”
Lelaki bermantel biru menghela nafas kesal. “Masa setiap arisan harus pake baju baru sih mam,” keluhnya.
“Ia dong, masa istrinya pak Permadi, pemilik pabrik kopi, orang terkaya di kota ini ngga mampu beli pakaian sebulan sekali. Yang malu siapa? Papi kan?”
“Iya maafin papi, habis tadi ada telephon dari pabrik. Ada masalah serius dengan ketel besar, jadi malam ini juga papi harus segera ke sana.”

Tak terasa mobil sudah sampai di halaman rumah besar. Seorang satpam yang mengenakan jas hujan keluar dari gardu, dan berlari di bawah guyuran hujan yang lebat. Dengan tergesa mendorong pintu pagar besi hingga terbuka lebar. Mobil melaju masuk, dan satpam bermantel hujan kembali menutup pintu gerbang. Di pelataran rumah mobil berhenti. Sang nyonya rumah yang masih saja menggerutu keluar diikuti anak gadisnya. Ia berteriak-teriak memanggil para pembantunya. Dua orang wanita kampung datang tergopoh-gopoh.

“Ambil semua belanjaan di mobil,” perintah wanita itu sambil terus masuk ke dalam dengan dada mendongak ke depan.
Sopir menurunkan semua bungkusan belanjaan yang memenuhi bagasi.
Aditya, pemuda kecil yang sedari tadi hanya terdiam, sebelum turun dari mobil berpaling pada ayahnya, “Ayah akan kembali ke pabrik?” tanyanya.
“Iya nak. Salah satu ketel besar kita di pabrik bermasalah.”
Anak itu berdiri menatap ayahnya khawatir. “Hati-hati di jalan ayah, badai hujannya besar sekali.”
“Makasih nak, sudah mengkhawatirkan ayah.”

Aditya masuk kedalam rumah dengan kepala tertunduk. Sesekali ia berpaling pada ayahnya. Dia amat khawatir dengan badai yang terjadi di luar sana. Sungguh, keluar rumah dalam cuaca seburuk ini amat tidak aman.

Setelah semua belanjaan selesai dikeluarkan, dan dua pembantu sudah mengangkutinya ke dalam, sopir segera menutup bagasi. Lalu ia kembali masuk ke dalam mobil. Sejenak ia berpaling pada laki-laki bermantel biru yang masih duduk di sampingnya, “Kita kembali ke pabrik sekarang pak?” tanyanya.
“Ia. Anak-anak pasti sudah menunggu di sana. Aku harus tahu sekarang juga, apanya sih yang bermasalah dengan ketel itu? Karena besok ketel itu harus normal kembali.”
Pak sopir menstater mobilnya. Satpam yang mengenakan jas hujan, begitu melihat mobil melaju akan keluar kembali, dengan cepat berlari keluar gardu dan membukakan pintu gerbang . Mobil itu kembali merayap keluar membelah hujan.

“Itulah wanita. Sangat memuakkan,” keluh lelaki bermantel biru setelah agak jauh meninggalkan rumah.
Sopirnya hanya terdiam. Ini keluhan pak Permadi yang keseratus kalinya mengenai istrinya.
“Dulu ibunya Aditya, tidak seperti ini. Istriku yang sekarang ini sangat luar biasa. Banyak keinginan dan selalu menuntut.”
Si sopir tidak memberikan komentar apapun. Karena dia mengerti tuannya tidak membutuhkan dirinya berkomentar. Ia hanya sedang menumpahkan kekesalan.
Di luar badai hujan semakin menggila. Si sopir berkosentrasi mengawasi punggung jalan yang akan mereka lalui. Beberapa kali sambaran kilat menyilaukan mata, diikuti bunyi gelegar yang menggetarkan dada. Tiupan angin kian menggila membuat guyuran air hujan dan dahan-dahan pepohonan meliuk-liuk.


Duar!
Tiba-tiba suara kilat menggelegar keras, menyambar sebuah pohon kelapa besar yang berdiri di pinggir jalan di depan mobil mereka. Pijaran api merambat cepat dari pangkal pohon.“Awas!!” teriak lelaki bermantel biru dengan wajah pucat. Sopirnya ternganga panik. Dan kreeek..Bum!! Pohon itu jatuh membal, batangnya menimpa badan mobil hingga remuk. Dua orang yang berada di dalamnya tak sempat menyelamatkan diri. Percikan api keluar dari tubuh mobil bersamaan dengan asap yang mengepul. Secara perlahan lampu mobilpun padam. Darah merah mengalir dari bawah bangkai mobil terbawa air hujan.

Setelah amukan badai hujan berhenti. Dan alam mulai tenang. Di kekelaman malam yang menghitam. Di keheningan alam yang mencekam. Di antara bunyi tetesan air yang jatuh dari ujung dedaunan. Dua roh keluar dari bangkai mobil yang terjepit pohon kelapa besar. Keduanya melayang secara perlahan ke udara. Terus melayang ke atas, seperti dua buah balon gas. Tiba-tiba seberkas cahaya putih yang muncul dari langit menyedot keduanya ke dalam pusarannya. Setelah kedua arwah itu tertelan, cahaya putih itu membias dan menghilang. Kedua arwah itu telah dibawa ke alam lain. Yaitu alam kegaiban Tuhan.






0 komentar:

Posting Komentar

 

Puska Tanjung Blog © 2012 | designed by Me