Seusai shalat Maghrib, hampir seluruh para ahli Masjid tidak pulang. Mereka semua duduk melingkar di sudut mesjid, menunggu waktu isya tiba sambil membahas konflik yang belakangan ini kian memanas. Para laki-laki itu akan merembukan solusi bijak yang harus segera diambil. Karena menurut mereka semua, hal ini tidak boleh diabaikan lagi. Sudah cukup lama laki-laki itu melukai perasaan warga dan mengobrak-abrik seluruh tatanan Masjid.
Abah haji Sulhi, salah satu sesepuh panutan di kampung itu, duduk menyandar di tiang mesjid yang besar, sambil membolak-balik sebuah kitab kuning di tangannya. Sementara yang lainnya menunggu seraya membicarakan tentang prilaku Alatas, lelaki setengah baya yang belakangan ini telah menjadi onak di kampung Kahuripan itu. Wajah-wajah yang ada di sana penuh dengan gelora kemarahan. Saeful, pemuda soleh, santri kesayangan abah haji Sulhi terduduk lesu di sudut. Pikirannya diliputi berbagai dilemma. Dia sadar betul, keputusan masjid akan membuat ibunya menangis. Tadi sebelum maghrib, abah haji Sulhi berulang-ulang membesarkan hatinya. “Ada hal yang lebih penting dari keluarga, kepentingan umat selalu menjadi pringkat yang utama,” katanya seraya menepuk bahu Saeful.
Mendengar ucapan abah haji Sulhi itu, Saeful serasa ingin menangis melolong-lolong menyesali nasib ibunya sendiri. Mengapa ibunya harus terperangkap cinta lelaki gila itu? Sehingga dia harus ikut di barisan masyarakat dan melukai hatinya. Dia membayangkan raut wajah ibunya yang belakangan ini tampak tirus dan tertekan. Tak terasa air matanya menetes.
Di dapur kecil mesjid yang terletak di samping belakang masjid, mang Sakib penjaga masjid, sibuk membuat bergelas-gelas kopi hitam yang ditata di atas baki besar. Lalu membawanya dengan repot ke dalam masjid.
“Kopi..Kopi…Kopi….,” kata mang Sakib, seraya membagikan gelas-gelas kopi itu sambil merunduk-runduk.
“Kopi apa ini Sakib?” tanya abah haji Sulhi seraya meletakan kitab kuning di sampingnya.
“Kopi Lampung itu bah, enak. Sanget.”
Abah haji Sulhi meniup-niup kopi panas itu lalu menyeripit sedikit. “Sedap juga kopinya,” katanya. “Siapa yang sidekah kopi enak ini?”
“Marwan bah, dia baru pulang narik dari Lampung.”
Abah haji Sulhi terkesiap kaget, tak biasanya Marwan menjejakkan kakinya di Masjid. Lalu ia mencari wajah Marwan dan tersenyum. “Alhamdulillah, Marwan sudah bisa sidekah,” katanya
.
Marwan, lelaki gempal berkulit hitam itu tersipu malu. Dia tahu abah haji Sulhi tengah menyentilnya, karena selama ini ia tak pernah perduli pada kegiatan mesjid. Propesinya sebagai supir truk, tak memungkinkan dia untuk bisa shalat berjamaah di masjid setiap saat. Disamping itu Marwan juga bukan pria yang taat beragama. Sembahyangnya saja masih seperti jaring net, rata bolongnya. Puasanya tidak pernah genap. Bahkan kadang-kadang kalau penat di perjalanan, suka mampir di warung remang-remang dan mencicipi kehangatan penjaja warung yang bergincu tebal. Sudah bukan rahasia umum lagi, semua orang di kampung tahu prilaku nakal Marwan. Bahkan istrinya sendiri.
Abah haji Sulhi menebarkan pandangannya sesaat ke sekeliling. Melihat wajah-wajah jamaah yang duduk melingkar padat. Sudut masjid itu tampak penuh. Abah haji Sulhi berdehem seraya tersenyum. “Kalau saja suasana masjid penuh seperti ini terus setiap hari, pasti sangat indah. Jangan cuma ramai disaat ada konflik saja dong. Kalau begini ustad Sadeli pasti senang karena banyak temannya.”
Ustad Sadeli yang namanya sempat disinggung abah haji Sulhi hanya tersenyum, sementara para pemuda yang merasa tersindir saling berbisik sambil tersipu malu. Mereka para pemuda yang suka nongkrong di pos ronda, tak pernah mengabaikan seruan azan dan lebih memilih bergenjrang-genjreng dengan gitar bututnya.
“Tapi walaupun masjid cuma penuh ketika ada konflik saja, abah tetap senang kok. Setidaknya hati kalian masih terpanggil untuk berjihad memurnikan ajaran kangjeng nabi Muhammad yang Agung. Setidaknya kita masih punya cinta pada Allah dan agamanya.”
Dua orang ibu-ibu datang sambil membawa dua nampan besar singkong rebus yang masih mengepul. Lalu menyodorkannya ketengah-tengah para jamaah.
“Alhamdulillah, rizki dari Allah ini,” ujar abah haji Sulhi sumringah.
“Kami sudah tahu kalau malam ini ada rapat di masjid,” salah satu dari wanita itu berkata. “Jadi kami berinisiatif untuk membuat makanan alakadarnya.”
“Terima kasih banyak bu.”
“Sama-sama bah haji,” lalu kedua wanita itu meninggalkan masjid setelah mengucapkan salam.
“Terus bagaimana hasil rapat di kecamatan tadi siang?” Abah haji Sulhi mulai membuka inti permasalahannya.
“Wah seru bah. Pokoknya si Alatas gila itu dicecar abis.”
“Pak camat juga tidak mampu berbuat banyak.”
“Lagi pula apa wewenangnya pak camat mengeluarkan surat ijin pendirian mesjid. Masjid baru itu bisa berdiri jika memenuhi koridor sari’at Islam, bukan karena ijin pak camat. Misalnya di sebuah pemukiman baru, atau di sebuah desa yang penduduknya kian padat, hingga mesjid yang lama sudah tidak mungkin menampung jamaah lagi, itupun letaknya harus berjauhan. Atau perkampungan yang dipotong sungai besar, jalan raya, dan perkebunan luas. Bukan mendirikan mesjid di kampung yang sudah memiliki mesjid, ini hanya akan menimbulkan perpecahan. Di kampung kita ini para pengukuh mesjidnya saja tidak lebih dari dua puluh orang.”
“Kyai Khatib ngamuk bah. Dia nunjuk-nunjuk muka si Alatas, marah.”
Para jamaah seketika gaduh menceritakan kejadian tadi siang dengan berapi-api.
“Ternyata tanda tangan persetujuan yang ditunjukan si Alatas itu palsu semua. Tak ada satupun para kyai yang mengaku membubuhkan tanda tangan di kertas itu.”
“Jadi dia memalsukan tanda tangan orang? Berani sekali. Tanda tangan para kyai lagi,” abah haji Sulhi menggeleng-gelengkan kepalanya terheran-heran.
“Begitulah si Alatas.”
“Bisa dituntut itu bah. Pasalnya ada, pemalsuan tanda tangan. Kita seret aja dia ke pengadilan,” kata salah satu Jamaah berapi-api.
“Jangan berpikir terlalu jauh. Kasihan keluarganya.”
Saepul yang sedari tadi hanya terdiam, semakin menundukan kepalanya.
“Inilah jawabannya, mengapa selama ini abah selalu memilih masbuk setiap kali Alatas jadi imam.” Kata abah haji Sulhi, mengingatkan jamaah pada sebuah sikap yang telah dia ambil belakangan ini. “Mengapa saat itu abah tidak mau menjelaskan pada kalian semua? Karena abah tidak mau dianggap mempengaruhi kalian semua. Nanti dikiranya abah sirik sama bacaan Al Qur’an Alatas yang fasih. Kan tidak enak. Abah hanya berharap suatu saat nanti kalian menyadarinya sendiri.”
“Sebetulnya kamipun sudah menyadarinya bah. Tapi kami tidak tahu harus berbuat apa. Dia selalu nyerobot jadi imam sebelum minta persetujuan.”
“Bahkan sebelum jamaah datang, dia sudah duduk di dekat mimbar.” Yang lain menimpali.
“Inilah pelajaran buat kita semua. Kita harus mulai belajar peka menilai orang lain. Jangan sampai tertipu oleh orang yang mengaku santri hanya karena mampu menghapal bacaan-bacaan Al Qur’an saja. Ada banyak orang yang shalat tapi tidak memahami makna shalat itu sendiri. Ada banyak orang yang bisa membaca Al Qur’an dengan pasih, tapi tidak tahu pada inti sari Al Qur’an itu sendiri. Jadi pada dasarnya mereka hanya bisa membaca, tanpa mempelajari kandungannya dan menerapkannya dalam menjalankan hidup sehari-hari.”
Semua jamaah terdiam mendengarkan wejangan abah haji Sulhi.
“Menjadi imam shalat di masjid itu bukan karier. Jadi tak perlu berambisi.” Kata abah haji Sulhi. “Jadi imam itu merupakan panggilan jiwa. Yang mendaulatnya adalah kepercayaan para makmum. Bagaimana bisa jadi imam kalau tidak ada makmum yang menginginkannya. Ibarat sopir, si Alatas itu cuma sopir yang hanya baru bisa menginjak gas, tanpa memahami rambu-rambu lalu lintasnya. Bagaimana kita bisa menitipkan nyawa kita pada sopir ugal-ugalan seperti itu. Begitupun dengan shalat, bagaimana kita bisa meyakinkan diri kita, bahwa shalat yang kita lakukan sah, jika imamnya saja ria.”
“Sekarang tindakan apa yang akan kita lakukan untuk si Alatas?” Salah satu jamaah tampak tak sabar.
“Ya abah haji, kita harus melakukan sesuatu. Orang itu keji, dia telah memecah belah umat.”
Abah haji Sulhi tercenung sesaat. Lalu bertanya. “Bagaimana hasil rapat di kecamatan tadi pagi?”
“Sama seperti pemikiran bah haji, semua para ulama menolak berdirinya mesjid baru itu, karena memang tidak diperbolehkan ada dua mesjid dalam satu kampung.”
“Kalau saja tadi pagi abah tidak kedatangan tamu, pasti abah ikut menghadiri rapat itu.” Ujar abah haji Sulhi penuh sesal. “Apa kyai Khatib menjelaskan mengapa tidak boleh ada dua mesjid dalam satu kampung?”
Kyai Khatib adalah salah satu ulama besar yang paling dihargai di kota itu. Bukan hanya karena pengetahuan ilmu agamanya saja yang mumpuni, tapi ia terkenal dengan kebijaksanaannya serta kesahajaannya. Dia kyai besar yang menguasai berbagai kitab kuning.
“Karena akan membubarkan shalat Jum’at kita katanya.” Ujar salah seorang jamaah.
Abah haji Sulhi menghela nafas berat. “Bahasa kasarnya seperti itu, tapi arti pemahamannya perlu uraian yang cukup panjang. Supaya kalian semua mengerti, mengapa tidak diperbolehkan berdiri dua masjid dalam satu kampung. Kecuali mushala-mushala kecil untuk memudahkan warga dilingkungan terdekatnya untuk berjamaah shalat lima waktu.”
“Tolong jelaskan lebih rinci abah haji, supaya kami semua mengerti.”
“Begini.” Kata abah haji Sulhi. Lalu ia berpikir sesaat mencari kata dari mana dulu dia harus memulai. “Masjid itu rumah Allah. Dalam arti kata masjid itu rumah seluruh umat. Tidak hanya tempat shalat, tetapi masjid merupakan tempat pusat segala kegiatan umat. Di masjid inilah kita bisa merembukan berbagai masalah, asal bukan gosip, catat itu.”
Para jamaah tersenyum.
“Emangnya infotaitment bah haji.” Salah satu pemuda nyeletuk.
“Lain, nyang biasa nonton gosip. Kaya ibu-ibu aja loh.”
Semua orang tertawa.
“Teruskan bah haji.”
“Sudah belum tertawanya?” Tanya abah haji Sulhi sambil menahan senyum, sabar.
“Sudah bah. Lanjut.”
Abah haji Sulhi memperbaiki duduk silanya. “Baiklah, abah teruskan sekarang.” Katanya. “Sekarang kita akan membahas, mengapa para laki-laki diwajibkan shalat Jum’at di masjid. Bahkan ada sebuah keterangan mengatakan, apabila seorang muslim tidak melaksanakan shalat Jum’at selama tiga kali berturut-turut maka dianggap dia seorang munafik. Sebegitu wajibnya shalat Jum’at bagi para laki-laki. Dan mengapa hanya para laki-laki? Mengapa para perempuan tidak diwajibkan shalat Jum,at? Nah inilah yang akan kita uraikan.”
Semua mata para jamaah menyatu pada abah haji Sulhi, mendengarkan wejangannya dengan seksama.
“Di dalam Al qur’an, Allah telah mengatur tatanan kehidupan manusia dengan sempurna. Semuanya memiliki hak kewajiban sesuai dengan kodrat lahiriahnya masing-masing. Hanya pendapat manusialah yang kemudian mengacau balau kannya. Manusia memang kadang mencari pembenaran sendiri, untuk mengabsahkan kekeliruannya. Kaum perempuan tidak diwajibkan, sekaligus tidak diharamkan shalat jum’at dan mencari nafkah. Kenapa begitu? Karena perempuan memiliki tanggung jawab yang amat berat di rumah. Pertama, ia bertanggung jawab menjaga kehormatan keluarga. Mengurus anak dan mendidik anak. Bayangkan, maksimal dua tahun sekali para wanita akan hamil dan melahirkan. Dan itu akan terus berlangsung selama kondisi si istri subur dan suaminya perkasa. Hamil itu tidak gampang, berat dan tidak nyaman. Ditambah lagi harus sambil mengurus anak-anaknya yang lain. Kemudian melahirkan. Untuk memulihkan kesehatan setelah melahirkan dibutuhkan waktu yang lama. Disamping itu si ibu juga harus mengurus bayinya, menyusuinya dan juga memperhatikan anak-anaknya yang lain. Makannya, pakaiannya, kesehatannya pendidikannya. . Dipikir-pikir tugas para wanita itu tidak ada habis-habisnya. Siang malam,tidak ada kata istirahat. Karena itulah kaum wanita tidak diwajibkan mencari nafkah dan mengurusi urusan di luar rumah. Bahkan pada dasarnya wanita itu dilarang keluar rumah. Shalatnya saja lebih afdol di dalam kamarnya sendiri, dibanding berjamaah di masjid. Makanya kaum perempuan tidak diwajibkan shalat jum’at. Kewajiban utama kaum wanita adalah mengurusi rumah, mengasuh serta mendidik anak-anak di rumah. Meski begitu para laki-laki tidak boleh sombong dan mengecilkan peranan istri. Apalagi melecehkan istri karena tidak bisa membantu mencari nafkah.”
“Tapi bah, para lelaki juga mencari nafkah tidak gampang” Seorang jamaah menyela.
“Memang. Tapi itukan tanggung jawab laki-laki. Kalau laki-laki tidak mau mencari nafkah, terus tugas apa yang akan kalian pikul? Mau melahirkan dan mengurus anak di rumah?”
Para jamaah tersenyum sambil bergidig.
“Jadi keterlaluan sekali kalau ada laki-laki yang menggantungkan hidupnya pada perempuan. Menyuruh istrinya mencari nafkah sekaligus mengurus rumah, sementara dianya sendiri berleha-leha. Itu namanya laki-laki ahli neraka.”
“Nah seperti itulah kelakuan si Alatas.” Salah satu jamaah nyeletuk.
“Wah kalau dia sih lebih parah dari itu. Tidak hanya dikasih makan perempuan, tapi juga makanin hak yatim.”
Abah haji Sulhi mendehem, memberi isyarat pada jamaah untuk tidak meneruskan pergunjingan tentang Alatas.
“Bah haji, perasaan kita tadi lagi membahas tentang konflik pembangunan masjid baru. Kok larinya jadi ngomongin perempuan?” Salah satu jamaah menggugat.
Abah haji Sulhi tersenyum. “Memang. Tapi itu termasuk sinkronisasinya. Katanya kalian mau tahu mengapa dalam satu kampung tidak boleh ada dua masjid. Mengapa hanya laki-laki yang diwajibkan salat Jum’at? Begitu kan?”
“Tapi saya lebih suka membahas intinya.”
“Jangan begitu dong.” Ustad Sadeli menengahi. “Kita semua harus menarik hikmah dari peristiwa ini. Apa kalian tidak mau menambah ilmu?”
“Ya betul.. Betul itu. Lanjut bah haji.” Seorang jamaah menengahi dengan penuh semangat.
“Begini..” Ujar abah haji Sulhi setelah menyeripit kopi hitamnya. “Mengapa hanya kaum laki-
0 komentar:
Posting Komentar