Rayap adalah inseks. Binatang kecil yang jumlahnya tak terhitung. Gerombolan kecil yang tampak tak berarti itu, kalau dibiarkan akan menjadi mesin penghancur, bisa jadi menumbangkan sebuah rumah. Sekali koloni itu menemukan peluang, maka jumlahnya akan bertambah setiap saat. Mereka memang kecil, daya keratnya sedikit, tapi karena jumlahnya cukup banyak, maka mau tidak mau harus diantisifasi.. Kalau tidak, kita tinggal menunggu jangka waktu untuk segera menjadi tuna wisma, tuna karya, kalau sudah begitu otomatis menjadi duafa.
Kita ingat kisah dibalik wafatnya nabi Sulaiman AS. Beliau adalah nabi yang paling intelektual diantara para nabi lainnya selain nabi Muhammad SAW. Nabi Sulaiman adalah ilmuwan mumpuni. Dia bisa membaca getaran daun, desauan angin, Aliran air, bahasa binatang dari yang terrenik hingga yang terbesar. Dia juga faham obrolah para jin dan makhluk-makhluk klenik lainnya. Dikisahkan pula persahabatan nabi Sulaiman dengan burung bulbul pengantar surat ke ratu Balqis penguasa negri Salva. Juga persahabatannya dengan para Jin sakti yang bisa memindahkan pesona kemegahan istana ratu Balqis keistananya. Tapi ketika dia wafat terduduk diatas singgasananya, tak ada satupun dari para sahabatnya, bahkan jin-jin sakti itu yang menyadari kalau nabi Sulaiman sesungguhnya telah mangkat. Mereka semua mengira bahwa nabi Sulaiman tengah berzikir diatas singgasananya. Yang pertama menyadari kalau nabi Sulaiman telah wafat adalah rayap. Sang koloni kelaparan itu, secara diam-diam kenyantap tongkat dan kursi singgasana yang tengah diduduki nabi Sulaiman hingga tumbang.
Kisah rayap pemakan kaki kursi itu, merupakan salah satu bahasa metafora bahwa makhluk-makhluk kecil itu tak bisa dianggap remeh. Mereka bisa jadi penentu sejarah. Dalam analisis sosial, budaya mengerat sudah sistimatik dan mengakar. Mereka ada dalam berbagai intitusi. Memang untuk ukuran predikat rayap cara mengeratnya tidak serta merta mengguncangkan, tidak seperti kucing yang menyolong ikan dari atas meja, atau tikus yang melubangi lemari makan. Cara kerja rayap tidak sertifikan, ia menelusup kedalam rongga secara perlahan dan kontinyu, tidak terlihat. Ketika kita sadar pilar sanggaan hidup sudah keropos.
Begitu menggelisahkannya budaya hidup modern yang serba hedonisme. Ideologi industrilisasi pencipta sarana revolusi kesejahteraan yang menjajakan impian matrialisasi, dan tidak serta merta dibarengi kemapanan moralitas dan mental spiritual, sehingga membuat semua individual menjadi konsumtif. Mereka terjebak dalam situasi untuk bagaimana caranya memuaskan rasa lapar. Sementara hukum alam mengkodratkan manusia untuk kembali lapar setelah sekian jam tidak makan.
Dilevel makro nasional kita mengenal para koruptor, barisan orang yang duduk dikursi kekuasaan yang memiliki peluang untuk mengiris roti. Orang-orang yang berkolusi dengan para pengusaha yang mengais lahan bisnis didivisi pembelanjaan kantor. Dilevel mikro ada runtutannya sendiri. Ada tikus-tikus kantor hingga rayap-rayap pengerat, semua itu merupakan paralel yang amat rumit. Ada kecemburuan sosial dari para pekerja kecil pada atasannya yang memiliki peluang untuk bancakan, atau merupakan reaksi sinisme, karena merasa keringatnya diserap. sehingga merekapun mencari celah yang kemungkinkan bisa dikerat. Ini soal perbedaan pendapat, bisa ia bisa juga tidak.
Mentalitas pekerja sekarang, tidak bekerja untuk mencintai pekerjaan sehingga menghasilkan karya inovatif dan kreatif. Etos kerja menjadi rendah. Mereka bukan mencintai pekerjaan tapi lebih mengharapkan hasil yang berbentuk materialis. Sehingga ketika hasil tidak mampu memenuhi tuntutan konsumtif, mental mereka berubah menjadi radikal. Menjadi gali. Yang lebih mencengangkan lagi, para oknum istri pekerja juga ikut-ikutan jadi pengutil. Misalnya ketika intansi memberikan jaminan kesehatan anlimited, seperti sebuah infirasi peluang untuk kemudian memanfaatkannya. Ini seperti penghinaan terhadap Tuhan dan kemanusiaan, sakit dijadikan komoditi, dan herannya lagi dokter rujukan menjadi perpanjangan tangan dari proyek pengutilan itu. Tak dapat dielakan lagi, seperti segerombolan lalat yang mencium bau bangkai, para makelar obat bertebaran, mengetuk dari pintu kepintu. Tanpa disadari perusahaan tengah dijarah secara masal.
Padahal instansi bersangkutan sudah cukup kooperatif dengan mempersiapkan payung kesejahteraan untuk setiap karyawan beserta keluarganya. Mereka memberikan jaminan masa depan, jaminan tempat tinggal, jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Sejatinya mereka memikirkan dan memelihara kelangsungan instansi tempatnya bernaung, supaya tetap memberinya penghidupan.
Ini adalah dosa maha besar kepada generasi yang akan datang. Kalau semuanya menjadi maling, apa mungkin sebuah perusahaan akan tetap eksis, kalau kemudian tidak gulung tikarpun pada akhirnya akan dioper alih kepemilikan. Kalau sudah demikian, kita semua akan ngontrak dirumah kita sendiri. {PUSKA TANJUNG}
0 komentar:
Posting Komentar