Jumat, 06 April 2012

RAMBUT

Dengan telaten Dinda, adiknya Damar menyisir rambut kakaknya yang panjang tergerai melewati pantat hingga ke betis. Dirurutnya dengan sisir besar berulang-ulang, meluruskan jalinan rambut yang kusut masai. Beberapa helai yang rontok dikumpulkan di bawah kakinya. Ibunya yang tengah duduk di atas kursi goyang sambil menyulam, sejenak mengawasi dengan seksama. Tatapan wanita tua itu diliputi keharuan. Mudah-mudahan target terakhir yang ditentukan Damar tidak meleset, katanya dalam hati. Ia sudah sangat gerah melihat rambut Damar yang panjang.

“Sudah selesai belum Dinda?” tanya Damar. Punggungnya mulai terasa pegal karena terlalu lama berdiri.
“Sebentar lagi kang,” ujar Dinda seraya terus menyisiri rambut Damar. “Diam dong, ini belum rapi,” Dinda menghardik.
Sejujurnya gadis manis itu mulai bosan dengan tugas rutinnya menyisiri rambut Damar, kakak keduanya. Entah sudah berapa tahun ia melakukan rutinitas itu setiap hari, tepatnya sejak Damar tidak lagi mampu mengurus rambutnya sendiri karena terlampau panjang. Kadang-kadang dia heran sendiri pada sikap kakaknya yang tidak bersedia menggunting rambutnya walau cuma sesenti.
“Apa sih yang istimewa dari rambut panjang kaya begini? Cewekpun takut ngeliat akang,” Omel Dinda sering kali. “Seniman bukan, senewen ia.”
Tapi Damar tidak bergeming.
Sebagian orang mempercayai rambut adalah mahkota. Sehingga para peƱata rambut berlomba menciptakan trandsetter, kemudian jutaan orang menjadi korban. Berganti model rambut sesuai trend, tak perduli apakah akan membuatnya lebih menarik atau sebaliknya. Tapi semua teman-teman Damar tahu, tidak ada yang lebih gila dari Damar jika membicarakan soal rambut. Teman-teman Damar sepakat menyebut Damar si gondrong antik. Pencinta rambut yang tak ada duanya. Ironisnya Damar pribadi tidak menganggap rambut sesuatu yang amat penting dan patut digilai., baginya rambut hanyalah rambut. Sejumput bulu yang tumbuh di kepala lalu terus-menerus memanjang. Tidak ada yang istimewa. Tidak sedikit orang yang tetap menawan meski kepalanya pelontos tanpa rambut. Para wanita muslim menyembunyikan rambutnya di dalam jilbab modern yang manis, dan ia masih tetap tampil cantik. Bahkan lebih ayu dan tampak bermartabat dibanding para wanita yang menata rambutnya dengan cat warna-warni. Sementara mahkota menurutnya hanyalah sebuah predikat dari puncak pencapaian. Mahkota adalah lambang kesuksesan. Damar telah menstandarkan diri dengan motto ciptaannya sendiri. Mahkota itu akan singgah di kepalanya dan membabat rambut panjangnya jika semua target pribadinya tercapai. Kedengarannya memang eksentrik bahkan sedikit gila. Tapi itulah Damar. Ia beritikad dengan konsep hidup yang dia pilih.
“Dinda pengen banget hari bersejarah itu segera datang, Kalau bisa secepatnya .Supaya Dinda terbebas dari tugas menyebalkan seperti ini,” keluh Dinda. Lalu mendorong punggung Damar sebagai isyarat acara menyisir rambutnya telah usai.

“Jangan begitu dong adik akang tersayang,” Damar memencet hidung adiknya gemas. “Nanti kapan-kapan, akang pasti kangen pengen disisirin sama kamu,” ujar Damar seraya mengonde rambut di belakang kepalanya dengan trampil. Lalu menyembunyikannya di balik topi baret bututnya.
Damar memang unik. Tak ada yang bisa menyangkal kalau pribadi Damar agak eksentrik. Apalagi jika melihat rambut panjangnya yang tergerai menyentuh betis. Sudah hampir dua belas tahun ia tidak memotong rambutnya secuilpun. Tepatnya sejak lulus sekolah menengah atas. Awal mulanya ibu Damar mengira kalau Damar sekedar ikut-ikutan trend, karena teman-teman kuliahnya kebanyakan berambut gondrong. Tapi kemudian ibunya kaget sendiri ketika suatu hari menyuruh Damar memotong rambutnya, lalu anak itu mengutarakan sebuah pengakuan.
“Ini bukan sekedar gondong ibu,” kata Damar. “Ini adalah sebuah tekad. Lebih tepatnya kaul saya kepada diri saya sendiri.”
“Maksud kamu?” ibunya menatap tak mengerti.
“Setiap manusia pasti memiliki impian. Atau lebih tepatnya tujuan hidup. Tapi aku tidak memeluk impianku tanpa tekad. Aku berusaha membuat konsep. Memang kedengarannya gila. Semua cita-citaku akan kujadikan target, dan rambut adalah barometernya.”
Ibunya semakin tidak mengerti.
“Maksud Damar begini bu..” Damar menyandarkan kepalanya di pangkuan ibunya manja. “Target pertama Damar adalah menyelesaikan study. Dan yang kedua bekerja di tempat yang bagus. Yang ketiga memiliki rumah pribadi, mobil pribadi, dan tabungan pribadi. Dan target yang terakhir menikah. Jika keempat target itu dapat diraih, baru rambut ini akan dipotong.”
Ibu Damar ternganga, menatap putranya tidak percaya, dan agak bergidik. “Kamu serius?”
Damar mengangguk yakin. “Sangat serius.”
Meski demikian ibu Damar masih tetap mengira kalau Damar tengah bercanda. Suatu saat nanti ia akan bosan dan merasa gerah sendiri dengan rambutnya. Lalu melupakan kaulnya. Namun waktu berlalu dengan capat, dari satu tahun, dua tahun dan kini sudah nyaris dua belas tahun. Dan rambut Damar kian panjang saja.
“Sudahlah, lupakan kaulmu itu Damar. Lihat tampangmu sudah kaya Gajah mada saja,” cetus ibunya di suatu hari.

Tapi Damar tak bergeming. Ia tetap teguh dengan pendiriannya.
Ibu Damar dilanda gelisah. Hatinya miris mengingat tidak semua orang dapat meraih semua impiannya. Haruskah sepanjang hidupnya Damar direpotkan dengan rambut panjangnya. Memang target Damar mulai tercapai satu persatu. Studynya selesai tepat waktu. Kemudian ia mendapatkan kesempatan bekerja di tempat yang bagus dengan gaji yang cukup memadai. Dan iapun mulai rajin menabung untuk mewujudkan target-target selanjutnya.
“Tinggal selangkah lagi bu. Tuhan telah memberkahiku dengan mewujudkan sebagian besar target-target yang telah kutentukan,” ujar Damar girang setelah berhasil membeli sebuah rumah kecil hasil jerih payahnya.
Tentu saja ibu Damar amat bersyukur. Dan kini ia bisa sedikit bernafas lega setelah Damar menggandeng seorang gadis manis yang akan segera dipersuntingnya. Rambut panjang itu telah menjadi sejarah besar hidup putranya. Memotifasi semua impiannya. Jika Tuhan meluruskan jalannya, dan pernikahan Damar dapat berlangsung sesuai rencana, berarti usia rambut panjang Damar tinggal sehari lagi.

Ya besok Damar akan menikah. Mewujudkan targetnya yang terakhir. Beberapa kerabat dekatnya mulai berkumpul di rumahnya yang sederhana. Para wanita sibuk mengemas berbagai hantaran yang akan dibawa besok ke rumah mempelai wanita. Tak ayal lagi, kini kisah rambut panjang Damar menjadi perbincangan hangat di antara mereka.

“Sebelum menikah atau sesudah menikah, acara pemotongan rambutnya?” tanya salah satu kerabatnya, seraya menata hantaran dalam keranjang dengan dipermanis aplikasi cantik.
“Tentu saja setelah menikah. Karena sudah menjadi tekad Damar hanya akan memotong rambutnya jika ia sudah menjadi seorang suami.”
“Aku tidak sabar ingin menyaksikan acara itu, pasti mengharukan,” kakak sulung Damar berkata dengan bola mata berkaca-kaca. Bukan rambut Damar yang membuatnya menangis. Tapi tekad Damar yang bersikukuh mempertahankan rambut panjangnya hingga semua impiannya tercapai. “Apa yang akan dilakukan Damar dengan potongan rambutnya nanti?”
Semua orang yang ada di rumah itu seperti terusik dengan pertanyaan itu.
“Ya ibu, rambut itu mau diapakan nantinya?”
“Dinda, kamu yang nyisirin rambut Damar setiap hari. Akan kamu apakan potongan rambut itu nantinya.”
“Di jual saja, pasti mahal.”
“Di buat konde saja, atau rambut palsu.”
“Yang berhak membuat keputusan adalah Damar.”
Ketika Damar pulang, mereka memberondong Damar dengan pertanyaan seputar potongan rambutnya yang akan digunting besok.
“Dibuang saja,” jawab Damar kalem.
Semua kerabatnya terkejut.
“Jangan dong, sayang. Siapa tahu rambutmu berubah menjadi rambut keramat.”
“Rambut hanyalah rambut. Kalau sudah dipotong ya harus dibuang. Kalau sudah terpisah dari kepala namanya bukan rambut lagi, tapi sampah.”

Kemudian ibunya segera menengahi perdebatan itu. “Sudahlah. Biar ibu yang ngurus rambut Damar. Akan ibu masukan ke dalam kotak kaca sebagai kenang-kenangan.”
Keesokan harinya setelah semua rangkaian acara pernikahan Damar dengan gadis pilihannya usai, acara potong rambutpun digelar. Damar duduk di atas kursi kecil dikerumuni seluruh kerabat dan keluarga besan. Istri Damar yang tampak cantik dengan kebaya pengantin dan roncean melati yang memenuhi kondenya memasang selembar kain putih di punggung Damar. Peci hitam yang menyembunyikan rambut Damar dibuka. Dan semua orang yang hadir di sana terbelalak melihat sebuah kepang rambut Damar yang melambai hingga menyentuh tanah.

Seperti menyambut kelahiran baru, Di awali pembacaan salawat, ayah Damarpun menggunting rambut putrannya hingga batang tengkuk. Semua orang yang hadir tampak terharu. Ibu Damar menangis terisak-isak.
“Memungut bahasa motto yang Damar buat,” kata ayah Damar sambil mengacungkan potongan rambut itu di dalam genggamannya, “ini bukan hanya sekedar rambut, ini sebuah itikad.”
Semua yang hadir bertepuk tangan.

Tiba-tiba ayah Damar menyenggol sepupunya Damar yang berdiri disampingnya. Dia menatap wajah yang ada di hadapannya dengan Dagu ditumbuhi jenggot yang dikepang karena terlalu panjang. “Kamu juga mau ikut dipotong jenggotnya?” seloroh ayah Damar.
Pemuda itu menyeringai. “Tidak. Targetku tidak selesai hanya sampai menikah saja. Targetku sampai ke surga.”

Mendengar kata-kata sepupunya itu Damar terkesiap. Ia lupa, hanya surgalah target puncak semua manusia. Tapi jenggot berkepang bukan tiket menuju surga. Tiket menuju surga adalah ibadah. Dan ia sudah memulainya dengan menikah. (PUSKA TANJUNG)

2 komentar:

Wonder Women mengatakan...

hahay,. luar biasa,..

Puska Tanjung Blog mengatakan...

Opone ningt luar biasa. iki amat biasa. wkwkwkw

Posting Komentar

 

Puska Tanjung Blog © 2012 | designed by Me