Jumat, 06 April 2012

SELINGKUH

Malam sudah beranjak tua ketika aku terjaga dari lelapku. Lelap sekejap yang mengendurkan keletihan, setelah tamasya mengelilingi angkasa raya. Aku dan Mer telah menjadi dua cupid bersayap, berjingkat-jingkat di atas awan, memecahkan gumpalannya dan menurunkan hujan, hingga membuat seluruh dunia terguncang.
Hidungku mengendus bau aroma rambut Mer yang ada di bawah ketiakku. Kutatap wajahnya yang cantik dengan kelopak mata terpejam. Ia wanita luar biasa. Seperti sepotong keju yang dipasang di dalam perangkap dan aku tikusnya yang telah terjerat. Dia segelas anggur yang membuatku tak terkendali ingin menenggaknya terus menerus. Dia meja judi dan tumpukan kartu domino yang membuatku lupa diri dan lupa waktu.

Tanpa beranjak dari pembaringan dan tanpa melepaskan diri dari cengkraman tangan Mer di perutku, tanganku menggapai, mengambil telephon selularku di meja kecil di samping ranjang. Telephon yang sudah kumatikan sejak tadi siang. Tepatnya sejak aku menyelinap keluar dari kantor secara diam-diam bersama Mer. Jam di telephon selularku sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Berarti sudah enam jam aku menghabiskan waktu dengan Mer. Telephon genggam adalah teman baikku. Ia menceritakan padaku, kalau istriku Dani sudah berulang-ulang menghubungiku. Seketika sekelumit rasa bersalah menampar dadaku.
“Mer bangun,” ujarku seraya menepuk-nepuk pipi Mer lembut. Ia membuka matanya malas.
“Kita harus pulang sayang. Sudah cukup malam,” kataku.
Malam itu, seperti saat-saat yang pernah aku lewati bersama Mer sebelumnya. Kami keluar dari kamar motel seperti dua orang penyamun yang baru keluar dari persembunyiannya. Beberapa penjaga motel yang kebetulan berpapasan menyapa sambil tersenyum penuh pengertian. Mereka adalah rekan kolusiku yang melindungi perselingkuhanku dengan Mer. Juga perselingkuhan-perselingkuhan para suami lainnya yang memanfaatkan jasa motelnya. Di sepanjang jalan pulang, di dalam mobil, Mer tak henti-hentinya menyanyikan lagu cinta murahan, sambil bergayut di bahuku manja.

“Sampai jumpa lagi besok di kantor ya mas,” ujar Mer ceria, sebelum turun dari mobilku. Di pelataran teras rumahnya, aku melihat suami dan anak Mer tengah menunggu. Tanpa canggung Mer meletakan dua jemari tangannya di mulutnya, memberiku ciuman jauh. Ah Mer, seharusnya ini tidak boleh terjadi. Ini sebuah kesalahan.
Tak ada kata yang tepat bagiku saat ini, selain menyebut diriku tengah keranjingan. Aku tahu betul ini salah, tapi sensasi itu terlalu membiusku. Dan aku telah membiarkan diriku terjerembab.
Tapi Tuhan amat konsekwen dengan janji-janjinya. Tak ada yang luput dari rasa panas bagi setiap orang yang menyalakan tungku perapian. Sungguh, barusan Tuhan telah membiarkanku menikmati kenikmatan surgawi, yang membuatku melambung ke alam bawah sadar. Tapi kini aku dilemparkan ke dalam jurang yang amat kelam. Dani, istriku menyambut kepulanganku di ambang pintu dengan wajah keruh.
“Sedari tadi aku berusaha menghubungimu pa,” kata Dani ketus. “Tapi Hpmu mati terus, kenapa sih?” Dani menatapku penuh selidik.

“Jangan marah dulu,” sergahku tanpa rasa bersalah. “Tadi di kantor papa banyak kerjaan, jadi HPnya sengaja dimatikan. Supaya tidak terganggu,” jawabku berbohong.
“Aku juga nelphon ke kantor kok, tapi ngga ada yang ngangkat,” dahi Dani berkerut.
“ Oh begitu? Tentu saja, orang resepsionisnya pulang cepat, jadi ngga ada yang nyambungin telephon ke ruangan papa.”
Aku tahu Dani tidak begitu saja percaya pada alasanku. Tapi setidaknya untuk saat ini, itu cukup membungkam mulutnya.
“Memangnya ada apa tadi nelephon?” tanyaku kemudian sambil menyelonong masuk ke dalam.
“Si kecil sakit, badannya panas. Tadinya aku pengen diantar ke dokter.”
Aku semakin merasa bersalah.
“Terus sekarang keadaannya bagaimana?” tanyaku cepat.
“Tadi sore sudah dibawa kedokter, di antar tetangga sebelah.”
“Sekarang anaknya di mana?”
“Sudah tidur, lumayan panasnya sudah mulai turun.”
Ini adalah hukuman. Aku ayah dan suami yang tidak tahu diri. Sejatinya sebagai ayah aku ada ketika mereka membutuhkan. Betapa dholimnya aku, di saat anakku sakit dan istriku panik, aku justru tengah bersuka cita dalam pelukan wanita lain. Laki-laki macam apa aku ini? Diliputi rasa bersalah, kuawasi wajah anak-anakku yang tengah terlelap di atas ranjang. Ingin rasanya aku berteriak memaki diriku sendiri. Perbuatan nista itu tidak boleh dilanjutkan lagi. Aku sudah memiliki dua putri cantik dan seorang istri yang tabah. Tak selayaknya mereka kusakiti.

Malam itu kupeluk tubuh krempeng istriku dengan erat. Seakan dengan begitu secara tidak langsung aku tengah memohon pengampunan darinya. Kulihat ada setetes airmata mengalir dari sudut mata Dani.
“Aku merasa belakangan ini kamu semakin jauh dari kami pa,” bisik Dani. “Kamu selalu pulang malam setiap hari. Aku amat kesepian,” Dani terisak-isak.
“Maafkan aku, aku berjanji akan menebus hari-hari yang hilang itu,” hiburku.
Tapi itu bukan sekedar kata pelipur lara. Itu adalah janji. Di dalam hati aku bersumpah. Aku akan menghentikan perselingkuhanku dengan Mer. Karena itu amat salah. Aku tidak akan lagi membohongi anak istriku. Tidak akan lagi.

Tapi keesokan harinya, menjelang pulang, Mer masuk ke dalam ruanganku dan duduk di atas pangkuanku. “Mas, malam ini kita dinner lagi yoo,” Godanya manja.
Seketika wajah istri dan anak-anakku lenyap ditelan bumi. Segera kupijit tombol HPku. “Hallo mam, maaf malam ini papa tidak bisa pulang cepat, karena ada miting mendadak.”
Setelah itu telephon genggamkupun mati. (PUSKA TANJUNG)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Puska Tanjung Blog © 2012 | designed by Me