Jumat, 06 April 2012

LAWANG TAJI

Magrib baru saja lepas. Sejak cahaya matahari lisut merunduk diterkam kegelapan. Tapi suasana di kampung kecil di bawah lereng gunung Karang tidak serta merta senyap seperti hari-hari biasanya. Kini malah sebaliknya, gaduh dan penuh derap langkah. Mitos keangkeran siluman Lawang Taji, sepertinya sudah tidak dihiraukan lagi. Sehingga nyanyian binatang malam yang bersembunyi di balik dedaunan kehilangan pamornya.
Ini malam minggu yang meriah. Pasalnya juragan Basuki, orang terkaya di kampung Pasir Angin tengah menyelenggarakan pesta khitanan putranya, dan menyewa kelompok orkes dangdut dengan beberapa biduan ibu kota sebagai hiburan. Orang-orang berdatangan dari berbagai peloksok seperti semut menemukan gula. Sehingga membuat kampung kecil itu sesak. Para pedagang musiman berjejer di sepanjang jalan dengan gerobag dan tenda serta meja dan bangku kecilnya. Mereka sudah berdatangan sejak tadi siang. Berebut tempat strategis dan menata dagangannya. Beberapa pedagang kacang rebus berjongkok di depan pasunya yang diterangi lampu sentir yang meliuk-liuk diterpa angin.

Kian malam gelombang manusia kian melaut di bawah panggung. Beberapa pemuda seperti tengah kerasukan, berjoget mengikuti musik dengan mata terpejam. Dentuman gendang dangdut yang membahana serta alunan nyanyian biduan yang mendayu-dayu merangkul seluruh isi kampung, sehingga membuat seluruh penduduk kehilangan kantuknya.

Tapi Daman tidak bergeming dengan kemeriahan yang tengah menggojlok seluruh isi perut kampungnya. Ia masih saja ngendon di dalam kamar kecilnya. Sejujurnya Daman sama sekali tidak menyukai kemeriahan semacam itu. Di samping tidak memiliki keberanian untuk menikmatinya. Padahal usia Daman baru saja menjelang remaja. Normalnya di usia seperti itu semangatnya lebih meletup-letup diliputi rasa serba ingin tahu. Tapi pribadi Daman yang agak pemalu dan kelewat tertutup telah membuatnya menarik diri seperti seekor siput. Karena ketidak mampuan Daman dalam bergaul dan lebih memilih menyendiri, teman-teman sebayanya, sepakat menjuluki Daman manusia antik.

Apapun julukan yang diberikan teman sebayanya, Daman sama sekali tidak perduli. Ia menikmati kesendiriannya. Malah menurutnya, teman-temannyalah yang tidak memiliki kemampuan untuk menikmati kesunyian. Padahal justru dalam diamlah Daman bisa melakukan apapun yang ia inginkan. Termasuk segala sesuatu yang tidak masuk akal sekalipun. Ia bisa memukuli guru matematikanya di sekolah yang galak dan sering membentaknya hingga babak belur. Ia juga bisa menjadikan kedua orang tuanya kaya raya hingga memanjakannya dengan membelikannya sebuah motor paling keren di kampungnya. Ia bisa menjadikan dirinya pemuda pujaan sehingga para gadis di sekolah berebut ingin memacari dirinya. Ia juga bisa mencumbu Yulianti, gadis tetangga yang menjadi buah bibir di kampungnya sehingga membuat teman-temannya iri padanya. Dan iapun bisa mengajak Arini ke kamar kecilnya. Arini anak gadis sebelah rumahnya yang sering ia perhatikan secara diam-diam itu ia peluk hingga lumat.

“ Hai man, kunaon maneh masih ngendon di kamar?”
Daman terperanjat. Rajutan khayalan di kepalanya buyar. Cepi teman sebayanya berdiri di ambang pintu. Daman sesaat mengawasi penampilan Cepi yang berbeda malam ini. Sebagai remaja belasan tahun, yang baru menginjak tahap pencarian jati diri, Cepi amat berbeda dengan Daman yang pendiam. Dia lebih berani mengekspresikan diri. Rambutnya diminyaki, Sengaja dibuat jigrag ke atas seperti orang yang habis tersengat arus listrik. Rantai-rantai dompet yang tersangkut di sabuk kulit kalepnya melambai di pinggulnya. Ia mengenakan kaos jangkis bergambar tengkorak. Bau pewangi menyengat hidung Daman.
“Ari maneh, dicari kemana-mana, tak tahunya masih ngendon di kamar.”
Daman hanya tersipu. “Urang males ka luar ey.”
“Ari maneh sok kabina-bina. Di luar rame jasa ey, maneh malah nyumpel di enggon. Ngapain? Ngelamun? Ulah sok loba ngalamun Man. Awas siah aya siluman Lawang taji lewat, di angkut.”
Siluman Lawang taji adalah sebuah mitos. Para orang tua menceritakan tentang kerajaan siluman yang ada di puncak gunung Karang untuk menakuti anak-anak supaya berhenti main di malam hari dan segera masuk ke dalam rumah untuk tidur. Konon para prajurit kerajaan siluman itu selalu berkeliaran mencari orang-orang lemah dan lupa diri, lalu dibawa ke negrinya untuk dijadikan budak di kerajaannya. Mereka dipekerjakan di dapur kerajaan siluman itu dan harus mengiris bawang sebesar tempayan setiap hari. Tapi siapa yang percaya dengan keabsahan cerita itu. Sekarang bukanlah jaman batu di mana manusia harus membuang sesajen kehulu sungai agar mendapatkan berkah dan keselamatan. Tapi kini era di mana manusia sudah mulai merancang cara untuk bisa berwisata ke bulan.

“Hayu Man ka luar. Kita cari cewek. Di luar banyak cewek,” rajuk Cepi. “Kesempatan seperti ini tidak datang setahun sekali, masa kamu diem aja di kamar, hirup mani eweuh kamonesan.”
Sejujurnya Daman tidak berminat. Tapi karena Cepi terus menerus merajuknya, akhirnya Daman beranjak dari dipan reotnya. Lalu berganti pakaian.
“Begitu dong. Semangat dikit napa,” ujar Cepi riang.
“Wuih… rame amat ya?” gumam Daman begitu keluar dari rumahnya.
Cepi mengajak Daman menerobos gelombang manusia. Menuju gerombolan teman-teman dekatnya yang tengah asyik berjoget di bawah panggung. Sang biduan mendendangkan lagu jenaka, sambil mempertontonkan goyangan pinggul yang memompa syahwat. Para pria bersiulan nakal.
Pada akhirnya Daman ikut larut dalam kemeriahan itu, meski ia tidak berani walau cuma menggoyangkan ujung telunjuknya. Dia hanya jongkok di samping panggung, mengawasi teman-temannya yang tengah kerasukan goyang dangdut. Hingga kemudian sebuah insiden terjadi. Dua pemuda bertikai tak jauh dari tempatnya berdiri. Mulanya adu jotos terus bergumul di atas tanah seperti dua ekor ayam adu. Lutut Daman gemetaran diliputi rasa takut. Beberapa orang berusaha melerainya, tapi tidak berhasil. Mereka sudah seperti sepasang pegulat yang tengah saling mengunci. Hingga kemudian, dengan melepas tembakan ke udara, seorang polisi segera memisahkannya lalu menggiring keduanya ke markas.

Tapi peristiwa itu sama sekali tidak mempengaruhi kemeriahan di atas panggung. Seorang biduan yang mempersembahkan goyang gergaji semakin memompa semangat para penonton.
“Apa sih yang menyebabkan dua pemuda itu ribut?”
Daman mendengar beberapa orang di dekatnya saling bertanya.
“Cewek. Mereka memperebutkan cewek. Tuh ceweknya yang berdiri di pojok sana.”
Daman berpaling mengikuti arah telunjuk laki-laki yang tengah berbincang dengan temannya.
“Pantas bae ceweknya bening men,” siul laki-laki di sebelahnya.
Melihat gadis itu Daman tidak bisa memungkiri kekagumannya. Seketika dadanya berdebar kencang. Pantas saja laki-laki tadi sampai bergulat habis-habisan. Ternyata yang mereka pertikaikan gadis cantik. Mulut Daman ternganga. Ia belum pernah menemukan gadis secantik ini sebelumnya. Kulitnya yang putih bersih, bibirnya yang ranum, serta bodynya yang aduhai. Dia sungguh luar biasa. Seperti gelas anggur merah bertangkai, yang mengundang para pria untuk meneguknya. Seketika wajah Arini dan Yulianti yang selama ini memenuhi kepalanya lenyap. Kini ia punya gadis lain yang lebih menggetarkan.
“Siapa nama cewek itu?”
Daman kembali mendengar orang di sampingnya bertanya pada temannya.
“Safina. Dia kembang desa Cihasem.”
Oh jadi Safina namanya, gumam Daman dalam hati. Seketika nama itu menggantung di angkasa. Sepanjang malam itu Daman tak henti mencuri pandang pada gadis itu secara diam-diam. Hingga kemeriahan itu usai pada dini hari, dan gelombang manusiapun surut, meninggalkan kampung kecil itu yang centang perentang seperti baru saja diserbu pasukan gajah. Damanpun naik dan berbaring di atas dipan kecilnya membawa sebentuk wajah dan sebaris nama di kepalanya.

Sebelumnya ia tidak pernah merasakan getaran seperti ketika melihat Safina tadi. Kini ia mendekap gadis itu di dalam khayalnya. Kesunyian yang dingin tidak serta merta membuai kantuk. Daman terlalu bergairah untuk tidak tidur. Wajah Safina mengepung seluruh isi kepalanya.
Tok….Tok…. Tok….. Daman mendengar pintu rumahnya ada yang mengetuk.
“Daman… Daman…”
Daman terperanjat. Ia mendengar suara Safina memanggilnya. Dengan cepat ia beranjak keluar. Di ambang pintu dia menemukan Safina berdiri sambil menyunggingkan senyum manis. Sepasang lesung pipit melesak di kedua belah pipinya. Sangat menggemaskan. Dia memang seperti gelas anggur merah bertangkai. Gemuruh di dada Daman berlompatan karena senang. Ini namanya pucuk dicinta ulampun tiba, pikirnya.
“Kang Daman mau ya nganterin saya pulang?” tanya Safina.
Tanpa pikir panjang Daman mengangguk. Dan Safina segera menuntun tangannya ke luar.
“Kita naik sado aja ya,” kata Safina lagi. Di pinggir jalan di depan rumah Daman, sebuah sado sudah menunggu. Sado yang amat bagus, penariknya seekor kuda gagah berwarna hitam.
Dengan riang Daman naik ke atas sado sambil menuntun Safina. Mereka duduk berdampingan. Seorang kusir yang duduk di belakang pantat kuda segera menghela sadonya. Di sepanjang jalan itu, Daman merasa aneh sendiri. Mereka tidak saling kenal sebelumnya, tapi kini duduk berdua di atas sado layaknya sepasang kekasih yang tengah di mabuk cinta. Safina dengan beraninya menggenggam jemari Daman erat-erat dan menggelendot manja. Mengapa ini harus terjadi? Tapi Daman tidak mau terlalu memusingkannya. Hatinya berbunga-bunga. Ia tengah dilanda bahagia.

Sado itu terus melaju membelah jalanan yang gelap. Langkah kaki kuda yang menyentuh aspal terdengar berdetak-detak memecah kesunyian. Mereka memasuki jalan raya yang amat besar dan beraspal licin. Lampu-lampu jalan yang terpasang berderet di kedua sisinya tampak benderang. Ini seperti jalan protokol, lebar dan tertata rapi dengan taman-taman bunga di sepanjang trotoar. Daman tidak mengenali jalur ini sebelumnya, tapi ia tidak mau menanyakannya. Karena kebersamaannya dengan Safina saat ini, sudahlah cukup baginya.

“Di mana rumahmu?” tanya Daman akhirnya.
“Sebentar lagi,” jawab Safina. “Di ujung jalan ini.”
Daman mengawasi jalan di depannya, dari ujung jalan muncul sebuah gedung yang cukup besar dengan pintu gerbang besi tinggi. Menurutnya tidak cukup pantas disebut rumah, lebih tepatnya sebuah istana. Dua orang penjaga dengan perisai di tangan berdiri di kedua sisi gerbang. Mereka mengenakan seragam dinas yang sangat aneh. Tubuhnya yang gempal dan kekar dibiarkan telanjang dan hanya mengenakan cawat kulit. Seperti dua orang gladiator.
Sado berhenti di depan gerbang. Safina menarik lengan Daman, mengajaknya untuk segera turun.
“Ini rumahku,” kata Safina. “Ayo…”
Daman masih agak canggung. Tapi Safina terus menariknya menuju gerbang. Dua orang penjaga gerbang melemparkan senyum, lebih tepatnya menyeringai. Tiba-tiba pintu gerbang terbuka secara otomatis.
“Ayo, jangan ragu-ragu,” ajak Safina lagi, seraya menarik lengan Daman keras. Dua orang penjaga tadi mendorong tubuh Daman dari belakang, seperti memaksa Daman untuk segera masuk ke dalam gerbang. Tiba-tiba ibu jari kaki Daman terantuk selot kunci pintu gerbang. “Gusti Allah nu maha Agung !” pekik Daman menahan sakit.
Seketika Safina menjerit, bersamaan dengan itu gempa mengguncang istana. Sehingga gedung megah itu bergoyang.
“Allahhu Akbar. Aya naon ieu?” pekik Daman panik.
Gempa semakin besar. Kian besar saja. Mengguncang tanah pijakan.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar,” pekik Daman tak terkendali. Pada saat itu Daman melihat Safina menyeringai, matanya mendelik semerah saga.
“Allahhu Akbar! Allahhu Akbar!” Daman semakin ketakutan.

Dalam sekejap mata, istana itu lenyap. Dua orang gladiator tadi juga lenyap dan Safinapun lenyap, serta sado dan saisnya. Daman terperangah seraya berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Kini Daman tahu kalau dirinya tengah berdiri di tengah hutan yang amat lebat. Di puncak gunung Karang. Dari balik kabut yang mulai menipis, dia melihat kota-kota di bawahnya yang mulai di simbahi fajar pagi. Dengan di liputi ketakutan, sekuat tenaga Daman berlari turun. Terus berlari sekencangnya mencari jalan untuk melepaskan diri dari cengkraman hutan. Ia akan segera pulang, dan sembahyang. Tadi ia telah berkunjung ke istana Lawang Taji. (PUSKA TANJUNG)


.

3 komentar:

Anto mengatakan...

Itulah dunia lain, Ingatlah selalu Pada Allah agar kita dilindungi dari segalanya.

Anto mengatakan...

Itulah dunia lain, Ingatlah selalu Pada Allah agar kita dilindungi dari segalanya.

Unknown mengatakan...

Apa ini cerita asli atau hanya karangan???

Posting Komentar

 

Puska Tanjung Blog © 2012 | designed by Me